“Halal nggak sih, Pot?”
Pertanyaan itu sudah kayak kaset rusak di telinga apoteker. Kalau setiap kali ditanya begitu apoteker dapat seribu rupiah, mungkin sekarang sudah bisa pensiun muda sambil buka kedai kopi syariah lengkap dengan sertifikat halal MUI.
Padahal pertanyaannya terdengar sepele. Bukan soal dosis, bukan soal efek samping, bukan pula soal interaksi obat. Hanya satu kata: halal. Tapi percayalah, jawaban dari satu kata ini bisa menentukan: obat diminum, ditunda, atau ditolak.
Dan kalau ditolak, bukan cuma soal satu pasien yang nggak sembuh. Bisa jadi nyambung ke isu kesehatan masyarakat yang lebih besar. Dari ruang praktik kecil sampai ke ranah nasional, persoalan halal pada obat ternyata bisa bikin geger.
Bukan Soal Meja Makan, Kotak Obat Juga
Buat masyarakat muslim, halal itu jelas penting. Nggak cuma di piring, tapi juga di rak obat. Kalau makanan, ukurannya jelas: nggak boleh ada babi, nggak boleh bikin mabuk. Tapi kalau obat? Di sinilah mulai ribet.
Kapsul banyak dibuat dari gelatin hewani. Sirup kadang mengandung etanol. Vaksin? Ada yang diproduksi menggunakan media kultur sel dari babi. Nah, di sinilah dilema muncul: mau sembuh tapi takut haram.
Yang terjadi kemudian adalah kebingungan. Ada pasien yang akhirnya patuh minum obat meski ragu. Ada juga yang keras menolak. Bahkan ada yang lebih percaya broadcast WhatsApp daripada penjelasan dokter atau apoteker.
Jejak Kasus-Kasus Heboh
Kita masih ingat heboh vaksin MR tahun 2018. Saat itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut ada kandungan babi. Tapi dalam fatwanya ditegaskan: boleh digunakan karena darurat. Publik? Banyak yang tetap menolak. Hasilnya, cakupan imunisasi jeblok, dan campak-rubella kembali muncul.
Lalu ada vaksin meningitis untuk jemaah haji dan umrah. Sempat diprotes juga. Baru tenang setelah ada versi halal yang bisa dipakai.
Dan yang paling mutakhir: kasus di Madura pada Agustus 2025. Pemerintah menetapkan status KLB campak di beberapa daerah. Salah satu penyebabnya, hoaks yang menyebar lewat media sosial: katanya vaksin campak haram. Isu ini membuat banyak orang tua menolak anaknya divaksin. Akibatnya? Campak meledak. Ironis sekali, yang halal justru penyakitnya: halal menyebar ke kampung-kampung, halal bikin banyak anak sakit.