Mohon tunggu...
Ahmad NurMuzayyin
Ahmad NurMuzayyin Mohon Tunggu... Seniman - Penulis dan pembaca puisi

Menangislah bila ia dapat mengurai sesak hatimu 082141606182

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Monolog | Demokrasi yang Salah

15 Maret 2019   15:42 Diperbarui: 15 Maret 2019   16:22 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Karya : Ahmad Nur Muzayyin

Jember, 14 Maret 2019


Selepas sholat Isya' saya melihat berita di televisi tentang debat kandidat calon presiden dan wakil presiden di rumah tetangga. Saya berkata "saya harus jadi seperti mereka. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai pejuang, apalagi pahlawan,  bagaimana saya bisa? Kehidupan saya hanya sebatas anak dari pemulung sampah, pendidikan saya tertunda lantaran tidak memiliki biaya untuk membayar uang SPP, tapi saya tetap berusaha untuk tetap melanjutkan studi saya ke jenjang perguruan tinggi.

Setiap hari saya membantu orang tua memulung sampah, dengan cara apa lagi agar saya mendapatkan penghasilan dan saya dapat melanjutkan studi? Di musim pemilu semua orang sibuk dengan dirinya sendiri,   sibuk memperjuangkan calon kebanggaannya untuk duduk di kursi terhormat. Di simpang jalan di penuhi baliho-baliho bakal calon, "haruskah sebanyak ini?" Gumamku dalam hati... "ah...  sekarang ini nilai demokrasi sudah di junjung tinggi, semua orang sudah bisa mencalonkan dirinya sebagai pemimpin,  Saya melihat semua sudah kompak kalau sudah membela demokrasi.
Terdengar seruan warga yang bersemangat dengan adanya demokrasi

"Hidup demokrasi!"
Tapi, yang sangat di sayangkan. Mereka belum mengetahui apa arti demokrasi. Coba kita lihat, mereka berkata "hidup demokrasi!... pokoknya, domokrasi itu bagus. Dengan demokrasi Negara kita akan makmur, adil dan sejahtera."
Saya kira itu sudah cukup.

Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai apa itu demokrasi, sebab yang ditakutkan apabila terjadi kesalah pahaman. ya... maklum, orang desa tidak semua berpangkat sarjana yang mengenal secara pasti apa itu demokrasi.

Pada suatu hari, datang salah seorang pejabat ke desa kami  memberitahukan bahwasanya akan ada penggusuran rumah yang bertempat di rt. 6 rw. 2
Petugas itu menghimbau, agar kami, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan bersama.

Seru seorang petugas.
"Walaupun hanya beberapa rumah, sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Lahan disini akan di bangun proyek besar dan atas nama kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti."
Wargapun nampak bingung
Kemudian berkata " Pembangunan siapa?
Dan ke tempat mana kami akan berteduh?" Kontan kami tolak.
"Tidak bisa itu tidak mungkin!"
"Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama, lagian bagi rumah yang digusur pasti akan dapat pengganti yang lebih baik" kata petugas tersebut.
Kami memberontak "Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang rumah kami, tanpa rembukan dengan kami."
"Soalnya masyarakat di sebelah sana," lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung di sebelah, "mereka semuanya adalah karyawan kami, dan mereka juga setuju atas penggusuran ini"
"Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini milik kami" bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau agar kami mengerti persoalan kami. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong dan rumah yang akan digusur akan di ganti oleh pemerintah.
"Jika saudara sekalian menolak adanya penggusuran ini, maka bahaya akan melanda" tegas seorang petugas
"Bahaya bagaimana? Kami belum berembuk masalah penggusuran ini, kalian seenaknya saja mengambil keputusan"
Kemudian terdengar suara mesin.

Tanpa banyak basa-basi dan tanpa izin lagi, sebuah bulldozer menghancurkan salah satu rumah. Warga kembali panik. "Jangan! Jangan! Ini rumah kami. Sejak nenek-moyang kami sudah di sini. Dulu kakek-kakek kami memiliki tanah yang luas, tiap orang punya dua sampai empat rumah dan juga lahan-lahan kosong. tapi semua itu sudah dibagi-bagi, dan juga ada yang dijual. Tapi ini rumah warisan".
Sekeras apapun mereka menolak Bulldozer itu tetap tidak peduli. bulldozer itu terus juga menghancurkam dengan buas. Sopirnya juga tidak peduli. Dia hanya menjalankan tugasnya.

Pada akhirnya Kami semua terpaksa melawan. Dari bapak-bapak hingga anak-anak mereka berdiri di hadapan bulldozer itu.
"Ini rumah kami, jika rumah kami digusur kemanakah kami akan berteduh? akan kami pertahankan rumah kami mati-matian. Dibeli ratusan jutapun kami tidak sudi, sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami".

Baru bulldozer itu berhenti.
Mereka kembali berunding. Dan kami menunggu apa yang akan terjadi. Selang beberapa menit mereka selesai berunding. bulldozer kembali dihidupkan.
Kami kembali deg-degan. Waktu itu sebuah mobil mercedes datang. Dua orang berseragam dengan dasi yang melingkar di lehernya. Kami besorak, melihat akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan itu, bulldozer kembali menerjang rumah-rumah warga. Warga terserentak berteriak. Beberapa anak jatuh, Keadaan menjadi kacau.
Tanpa diberi komando lagi, kami melawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun