Ustadz Abdul Somad (UAS), yang saya tulis di sini, bukan kapasitasnya UAS sebagai pribadi, karena tentu penulis tidak mengenal beliau secara pribadi dan UAS juga tentu tidak mengenal penulis. Tapi tulisan ini mencoba menyoroti fenomena hadirnya ustadz Abdul Somad dijagat per-dai-an di Indonesia. Kita akan sederhanakan menjadi "fenomena Abdul Somad" dalam ruang publik.
Saya kira, para pembaca juga seperti saya mengenal Ustadz Abdul Somad (UAS) dari sosial media. Tidak sedikit pula tokoh nasional yang gandrung dengan UAS lewat sosial media, yang ditindaklanjuti dengan mengundang ceramah dalam acara pengajian misalnya Menteri Pemuda dan Olah Raga RI, Bapak Imam Nahrawi. Panglima Santri Nusantara, Abdul Muhaimin Iskandar. Juga tokoh lainnya misalnya Ketua MPR, Zulkifli Hasan, Bahkan Tokoh FPI Ustadz Rizieq Syihab sekalipun sempat bertemu secara langsung di Makkah. Singkat cerita, perkenalan saya dan sebagian besar orang dengan UAS diawali dari Sosmed, dan klaim perkenalannya menjadi meyakinkan, karena UAS kehadirannya diakui oleh banyak tokoh. Sehingga tidak sedikit, pengunjung yang melihat cerahmnya di youtube dan di media sosial lainnya.
Lalu bagaimana respon publik dengan kehadiran UAS? Paling tidak dari sekitar 20 orang yang penulis Tanya, 19 diantaranya mengakui kapasitas keilmuannya, lepas dari popolaritas. Karena popularitas menyangkut jam terbang pula. Intinya UAS sebagai pen-dai, bisa kita simplifikasi diterima oleh semua kalangan, sampai saat ini.
Â
Fakta UAS yang Kontroversial
Lagi-lagi harus penulis batasi, pada perkenalan penulis tidak secara pribadi mengenal UAS. Tapi media sosial telah menjadi "wasilah" -- perantara bagi penulis mengenal isi dari ceramahnya. Jadi ada keterbatasan penulis memahami seluruh aktivitas sosial keagamaan UAS.
Walaupun dalam ruang tertentu UAS diterima oleh kebanyakan kalangan muslim di Indonesia, namun kehadirannya masih kontroversial dengan sebagian kalangan lain. Tentu penolakannya didasarkan pada isi ceramah, yang sempat muncul dalam ruang publik dan dianggap bertentangan dengan pandangan kenegaraan misalnya.Â
Terakhir penolakan negara lain, kaitanya dengan UAS, Negara Hongkong yang berani menolak kehadiran UAS, yang posisinya tidak penulis ketahui secara pasti. Yang jelas seputar masalah teknis, mempengaruhi kehadiran UAS di Hongkong. Intinya, ruang kontroversi masih ada, yang berarti walaupun mayoritas menerima, masih ada sedikit yang tidak menerima.
Dalam kaitanya dengan hal ini, fenomena UAS menjadi rujukan bagi penceramah dan dai lain, bahwa tidak serta merta penceramahan yang sudah diterima oleh mayoritas kalangan di Indonesia, juga mudah lolos dalam ruang lain. Semua ini adalah pertentangan yang demikian kompleks, yang tidak bisa lepas dari pengaruh pandangan dunia terhadap dunia Islam. Ceramah sebagai salah satu kegiatan inti dalam penyebaran paham keagamaan, khususnya Islam juga menjadi sorotan semua pihak.
Fenomena UAS memberi pelajaran berharga, bahwa dunia mudah memahami gagasan seseorang, baik tentang agama atau tentang hal lain, yang pada pokoknya masing-masing harus saling berhati-hati dalam menyampaikan gagasan di ruang publik. Ada substasnsi yang kadang diterima oleh mayoritas, namun pada sisi lain tidak diterima oleh minoritas. Ruang itu, yang harus disikapi secara bijak oleh semua penceramah.
Â