Pertama kali saya menginjakkan kaki di Raja Ampat, Papua Barat, hati saya seperti dibasuh oleh air surga. Lautannya sebening kaca, gugusan pulaunya tampak seperti potongan zamrud yang ditaburkan Tuhan dengan penuh cinta. Ikan-ikan warna-warni berenang bebas di sela karang, burung cendrawasih melintas di langit pagi, dan udara asin membawa aroma kehidupan yang masih perawan. Sebagai orang Madura, yang tumbuh besar di tanah gersang penuh garam dan debu, menyaksikan Raja Ampat ibarat menatap surga dalam bentuk duniawi.
Tapi surga itu kini mulai merintih.
Saya sempat berbincang dengan beberapa warga lokal. Mereka menceritakan bahwa banyak investor datang bukan untuk memelihara, tetapi mengeruk. Hutan mangrove dibabat, laut dipenuhi suara mesin dan limbah pembangunan resort mewah, dan beberapa lokasi wisata yang dulu bebas dikunjungi nelayan, kini berpagar, berbayar, bahkan berbahaya. "Kami seperti tamu di rumah sendiri," keluh seorang bapak tua sambil menatap horizon.
Sebagai orang Madura, saya merasa kenangan ini bukan hal asing. Kita pun mengalami luka yang sama. Di pulau saya, Madura, dulu ada bukit dan ladang hijau yang kini menjadi perut tambang. Investor datang membawa janji pekerjaan dan kesejahteraan, tetapi meninggalkan lubang dan konflik. Beberapa tanah ulayat beralih fungsi tanpa restu warga, beberapa petani berubah jadi buruh di tanahnya sendiri. Seperti kisah klasik: emas keluar, rakyat tetap lapar.
Madura dan Raja Ampat mungkin jauh secara geografis, tetapi senasib secara batin. Keduanya adalah tanah kaya yang kerap dianggap miskin oleh orang luar, lalu dijual murah atas nama "pembangunan." Ironisnya, kita sering tidak menyadari kerusakan itu karena terbius oleh narasi kemajuan.
Kembali ke Raja Ampat, saya melihat ada harapan. Banyak anak muda lokal mulai bangkit, membangun usaha wisata berbasis komunitas, menjaga laut, menghidupkan kembali adat sebagai pagar hidup. Mereka mengerti bahwa jika tidak dijaga, tanah ini akan dijajah ulang---bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh nafsu rakus yang berseragam investasi.
Saya ingin orang Madura belajar dari Raja Ampat: bahwa kekayaan alam bukan untuk dijual, melainkan dijaga. Saya juga ingin orang Raja Ampat belajar dari Madura: bahwa kehilangan tanah berarti kehilangan harga diri. Dan yang paling penting, saya ingin kita sadar bahwa pembangunan sejati bukan soal hotel dan bandara, tetapi bagaimana manusia dan alam hidup dalam keselarasan.
Raja Ampat telah memperlihatkan kepada saya bukan hanya keindahan, tetapi juga peringatan. Surga bisa rusak. Dan ketika itu terjadi, tidak ada investor yang mampu mengembalikannya.
Sebagai orang Madura, saya ingin pulang dengan membawa cerita ini: bahwa kekayaan kita bukan diambil dari luar, tetapi dirawat dari dalam. Sebab jika kita tidak menjaga tanah kita sendiri, siapa lagi?
(Berdasarkan cerita Ainur Rahmah, teman dari Jember)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI