Ketika sebuah video pernikahan muda dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, beredar dan viral di media sosial pada pertengahan 2025, saya terdiam lama. Terlihat sepasang remaja belia---mungkin tak lebih dari 14 tahun---berdiri malu-malu dengan riasan pengantin yang begitu kontras dengan kecerobohan usia mereka. Saya tercekat. Bukan hanya karena fenomena itu terasa asing, melainkan karena ia menggugah kenangan purba di lorong ingatan saya tentang Madura, tentang masa lalu dusun kecil yang saya tinggali, tentang teman-teman saya yang juga pernah mengalami hal serupa. Maka tulisan ini lahir dari ruang batin yang tergerak oleh rasa ingin tahu dan nostalgia, berpadu dengan kesadaran zaman yang terus berubah.
Kilas Balik: Ketika Pengantin Belia Menjadi Pemandangan Biasa
Saya dibesarkan di sebuah dusun sunyi bernama Tanggulun, terletak di desa Montorna, wilayah Pasongsongan, ujung timur Kabupaten Sumenep. Tahun 1990-an menjadi saksi sebuah tradisi yang kala itu belum terasa sebagai problem: pernikahan dini. Di bangku kelas 3 MTs (setara kelas 9 SMP), saya masih ingat betul beberapa teman perempuan saya yang tak lagi melanjutkan sekolah. Bukan karena mereka tak pandai atau tak punya cita-cita, melainkan karena mereka sudah "diserahkan" oleh orang tua untuk menikah dengan kakak kelasnya yang bahkan baru duduk di kelas 5. Mereka yang dulunya duduk sebangku, mendadak menyandang status istri, dan tak lama kemudian ibu dari anak-anak.
Waktu itu, kami tak mempertanyakannya. Orang dewasa menyebutnya "ikhtiar menjaga kehormatan". Tak ada suara protes, tak ada kampanye perlindungan anak. Yang ada hanya legitimasi budaya, tekanan sosial, dan keyakinan agama yang ditafsir secara literal dan waswas. "Daripada zina," ujar mereka, "lebih baik dinikahkan saja."
Namun perubahan zaman tak pernah lelah. Angin modernitas dan pendidikan yang meluas pelan-pelan menyusup masuk ke dalam rumah-rumah panggung bambu dan batu bata kami. Satu demi satu, orang tua mulai berpikir ulang. Dari generasi ke generasi, perlahan tradisi nikah dini mulai pudar. Di dusun saya sendiri, sejak awal tahun 2000-an, hampir tak ada lagi anak perempuan yang menikah sebelum menyelesaikan sekolah menengah. Bahkan kini, mereka rata-rata menikah setelah lulus SMA, sebagian bahkan setelah menyelesaikan kuliah. Sungguh perubahan yang tak kecil bagi sebuah dusun yang dulu menyandingkan anak perempuan dengan ranjang suaminya lebih cepat daripada menyandingkannya dengan bangku sekolah lanjutan.
Antara Gunung dan Laut: Membedah Data dan Realita
Sebagai seorang pengamat kecil atas perubahan sosial yang terjadi di kampung halaman, saya iseng membuat survei kecil. Dusun saya, Sayan, di Tanggulun, telah lama tak menyaksikan pernikahan di usia SD atau MTs. Setidaknya sejak dua dekade terakhir. Namun saat saya bertandang ke desa Rombiyah, yang secara geografis lebih dekat dengan perkotaan dan lebih mudah dijangkau oleh kendaraan bermotor, saya mendapati bahwa praktik nikah muda masih ada.
Mengapa Rombiyah yang "lebih kota" justru masih memelihara tradisi nikah dini?
Satu jawaban klise tapi tetap sering terdengar adalah: "Takut zina." Frasa ini menjadi semacam mantra yang dijadikan tameng oleh orang tua yang merasa kewalahan menjaga anaknya. Mereka takut anak-anak mereka terjerumus dalam hubungan bebas yang kian marak disiarkan oleh layar ponsel. Bagi mereka, pernikahan dini adalah pagar suci untuk mencegah kehancuran moral.
Namun di balik kekhawatiran itu, saya melihat ironi yang lebih dalam. Bukankah pernikahan dini itu sendiri bisa menjadi jurang baru? Seorang anak perempuan yang baru lulus MTs---dengan usia sekitar 15 tahun---belum cukup matang secara emosional, psikologis, apalagi ekonomis untuk membangun rumah tangga. Mereka belum selesai dengan dirinya, tapi sudah harus menyelesaikan urusan orang lain.
Salah seorang ibu di Rombiyah berkata kepada saya dengan nada pembenaran, "Kalau sudah baligh dan ada yang melamar, apalagi orangnya baik, ngapain ditunda? Perempuan itu cepat usangnya, Pak."