Mohon tunggu...
Ahmad Muhaimin Alfarisy
Ahmad Muhaimin Alfarisy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I Love Bread

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cinta Itu Egois

22 Maret 2013   18:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:23 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13639521622005348905

Sebenarnya saya sudah tidak terlalu berhasrat untuk menuliskan hal ini. Hanya saja akhir-akhir ini kepadatan jadwal membuat saya tidak sempat berpikir untuk mengisi halaman-halaman dalam blog saya, hingga kemudian saya kembali teringat pada sebuah cerita yang disampaikan oleh rekan tetangga kos saya yang seorang sarjana kedokteran, namun lebih memilih (dan bahagia) dengan menjadi seorang linguist.

Di sebuah petang, saya tengah duduk-duduk di selusur kos saya di wilayah Sendowo (sebelah selatan RS Sardjito UGM) sambil menatap langit yang tengah cerah, tanpa awan, sehingga bintang-bintang terlihat cukup jelas. Tetangga saya yang baru pulang dari pekerjaannya di kota lalu menghampiri saya. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di mana kami berdiskusi tentang apa saja, hingga kemudian ia melihat raut wajah yang tidak biasa di wajah saya. Ia lalu menyapa dan menanyakan kabar, yang saya balas dengan pertanyaan yang sama. Saya lalu bercerita kepadanya, bahwa beberapa hari yang lalu saya sempat bersentuhan dengan teori cinta, dan bertemu dengan salah seorang rekan (laki-laki) dari fakultas Teknik UGM. Rekan saya dari fakultas tetangga itu bertanya demikian “Alfa, kamu sudah memikirkan bagaimana pendidikan untuk anakmu nanti ?” Saya lalu menjawab “Ya, tentu saja. saya ingin mendidik anak saya dengan tangan saya sendiri, bersama dengan ibu dari anak-anak saya. Karena itu saya telah memilih jalan ini (entrepreneur) karena berharap bisa memberikan waktu yang luang untuk pendidikan yang terbaik untuk anak saya kelak. Terlebih ibunya nanti. Saya sendiri berharap, (bacaan) ngaji istri saya kelak lebih baik daripad ngaji saya. Karena saya ingin anak saya nantinya belajar mengaji dan ilmu agama langsung dari saya dan ibunya. Bukan di TPA, he he he he. Lalu bagaimana dengan dirimu ?” Teman saya lalu menjawab dengan argumennya sendiri. Namun tidak berbeda jauh dengan apa yang saya sampaikan. Kurang lebih, caranya mendidik akan sedikit banyak mengadpsi apa yang dilakukan orang tua rekan saya tersebut terhadapnya, dan memang ia terlihat sangat terdidik. Saya lalu bertanya balik padanya “Kamu, lebih memilih menikah dengan orang yang kamu cintai, atau yang mencintaimu ?” Cukup lama ia berpikir, hingga kemudian ia menjawab “Yang mencintaiku !” “Kenapa ?” Sejujurnya saya lupa seperti apa jawaban yang diutarakannya. Namun kurang lebih saya setuju dengan alasan yang diutarakan. Ia lalu bertanya balik. Dan sayapun menjawab “tentu saja saya memilih yang mencintai saya. Bukan apa-apa. Saya khawatir apabila menikah dengan orang yang saya cintai, namun tidak mencintai saya, saya akan memnjadi laki-laki yang diperbudak olehnya (istri), sehingga yang terjadi bukan kebahagiaan melainkan sebaliknya. Namun apabila saya menikah dengan orang yang mencintai saya, maka mungkin cinta saya belum tumbuh, namun saya berani menjamin saya akan memberikan kasih sayang yang dibutuhkan dan diinginkannya” Rekan saya tersenyum. Begitupun dengan saya. Namun tiba-tiba sebuah suara dari salah seorang rekan yang lain memecah keheningan “duuh, aku jadi bingung, nanti mau menikah dengan orang yang aku cintai atau yang mencintaiku yaah….!” Sontak kami berdua tertawa. Saya lupa ternyata tepat di sebelah saya, rekan saya yang lain (rekan saya ini pernah saya ceritakan dalam artikel yang lain) menyimak pembicaraan kami sejak awal. Dia wanita. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada tetangga saya. Ia lalu tersenyum hingga kemudian ia bercerita tentang suatu hal. Terlepas dari dongeng atau fakta, saya mendengarkannya saja Dahulu kala, terdapat sepasang suami istri yang sangat kaya. Mungkin mereka adalah raja dan ratu. Suatu hari mereka bersemedi di sebuah ruangan yang berdekatan. Mereka lalu merenungkan dalam-dalam hidup mereka. Lalu tiba saatnya mereka merenungkan tentang cinta. Setelah selesai, mereka kemudian saling bertanya satu sama lain dengan pertanyaan yang sama. “Siapa yang paling kau cintai?” Mereka berdua, tanpa diduga menjawab jawaban yang sama pula “Diriku sendiri”. Saya bingung. Apa maksud dari cerita tersebut. Rekan saya lalu dengan baik hati menceritakan maksud dari cerita yang baru saja dibawakannya. Terkadang kita tidak menyadari bahwa cinta yang muncul di hati kita menjadikan kita sangat egois. Ketika kita mencintai seseorang, kita menjelma menjasi sesuatu yang sangat egois, di mana kita begitu menginginkan orang yang kita cintai menjadi milik kita, mengetahui apa agenda dan kegiatannya, mendapatkan perhatian darinya, mendapat balasan sms atau telpon darinya, dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, sebenarnya siapa yang dicintai ? tentu saja diri sendiri. Dalam keadaan seperti yang diceritakan di atas, kita ingin memilikinya, mendapatkan perhatian darinya, mengetahui agenda dan kegiatannya, sms dan telepon untuk kita, bukankah sebenarnya hanya untuk menyenangkan kita ? memperluas ego kita dengan menjadikan kehidupannya adalah bagian dari kehidupan kita, tanpa mempertimbangkan apakah ia juga menjadi bahagia ? artinya cinta terkadang membuat kita lupa untuk membiarkan cinta itu mengalir begitu saja, dan lupa membuat cinta yang kita cintai menikmati kebahagiannya sehingga kita hanya sibuk membahagiakan hidup kita, diri kita yang memperluas ego kita.

Ahmad Muhaimin Alfarisy

Perpustakaan Teknik UGM 22 Maret 2013, 17:43

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun