Mohon tunggu...
Ahmad Muhaimin Alfarisy
Ahmad Muhaimin Alfarisy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I Love Bread

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kecelakaan Pesawat Silk Air 19 Desember 1997; Aku di Sana

18 Maret 2014   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:48 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku benar-benar hampir melupakan peristiwa ini hingga akhirnya menemukan berita tentangnya pada April 2010 melalui internet. Kejadian yang sungguh, menghentikan detak jantung beberapa detik, menahan nafas dan hampir-hampir meruntuhkan tembok jantung. Ya, setidaknya itu yang Aku rasakan ketika itu.

Ketika itu usiaku baru mencapai 5 tahun lebih 37 hari. Suhu udara mulai turun dan matahari mulai condong ke barat, menguningkan langit senja itu. Aku tengah leyeh-leyeh di ruang keluarga di rumahku ketika itu, di sebuah desa yang jauh dari peradaban maju. Makarti Jaya. Sebuah kecamatan terpencil di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sebuah desa yang tidak mengenal listrik kecuali ketika matahari mulai gelap. Kendaraan roda empat tidak akan engkau temui selain traktor yang dimodifikasi menjadi serupa dengan mobil, pun hanya akan terlihat pada hari 17an. Kecamatan ini sangat tertutup, namun tidak sampai terisolasi. Kota terdekat adalah Palembang, yang hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai. Tepatnya sungai Musi. Menggunakan kendaraan air seperti perahu motor, speedboat atau yang kami biasa menyebutnya stempel, dan tongkang (perahu bermesin besar, namun berukuran lebih kecil dari perahu motor.

Kejadian senja itu menyisakan trauma, setidaknya hingga hari ini. Namun justru aku baru benar-benar mengingatnya ketika pertama kali akan menungganginya pada bulan April 2010.

Tubuh Pesawat Silk Air Nomor penerbangan MI-185 memecahkan keheningkan kala itu dengan suaranya yang terdengar tak ladzim. Tubuhnya membumbung tidak terlalu tinggi di atas atap-atap rumah kami dan semakin merunduk. Ada yang salah ! Tidak ada landasan pacu yang bisa memuat pesawat di desa kami !

Aku bahkan tak sempat menyelesaikan hembusan nafasku yang terakhir sejak suara aneh itu terdengar, teriakan puluhan hingga ratusan orang bergemuruh, menggetarkan dinding-dinding rumah kami yang hanya tersusun atas papan-papan yang usang. Mereka berlarian sambil menunjuk-nunjukkan tangannya ke atas langit !

Ada yang aneh !

Aku lalu berlarian dengan kakiku yang masih mungil, sambil menenteng kaos yang belum sempat aku pakai.

PESAWAT !!

PESAWAT !!

PESAWAT KEBAKAR !!

“DHUAM!!!!!”

Tiba-tiba suara dentuman maha dahsyat mengoyak gendang telingaku. Sebuah suara yang belum pernah aku dengar lagi bahkan hingga kini! Pikiranku berkecamuk. Detak jantungku berirama acak. Bukan karena jatuh cinta, melainkan aku tahu telah terjadi sesuatu yang sangat dahsyat jauh di delta anak sungai musi sana.

***

Aku tidak tahu apa-apa hingga petang menyelimuti langit kami yang berbintang. Tubuhku kedinginan. Ah, bukan. Tepatnya menggigil. Menggigil ketakutan. Aku tau, ada banyak mayat yang mungkin menggenang. Yang bisa saja mengalir di sungai kami. Tepat di bawah rumah-rumah kami yang tidak terlalu kokoh, memanggung di atas bibir sungai.

Ada orang yang mengatakan melihat tubuh pesawat itu terbakar hanya beberapa puluh meter di atas atap-atap rumah kami. Ada pula yang mengaku melihat api di ekor dan sayapnya. Sebagian kemudian mengaku melihat tubuh pesawat itu sempat menyenggol beberapa dahan pohon kelapa yang tinggi. Tapi bodoh, cerita yang terakhir tak mungkin benar. Jarak delta sungai hampir sekitar 5 KM, dan tak mungkin tubuh pesawat Silk Air yang malang sempat menyenggol dahan-dahan pohon kelapa yang berada di rumah-rumah kami.

Kejadiannya sangat cepat. Tak sampai beberapa detik hingga kemudian terdengar dentuman maha dahsyat yang belum pernah terdengar oleh gendang telingaku sebelumnya.

Malamnya, kami mendengar kabar dari mereka yang tinggal di delta. Sebuah pesawat bertubuh putih telah jatuh di tengah-tengah sungai Musi. Terjermbab dan jatuh dalam kegelapan air sungai musi yang keruh. Mereka bahkan berkata, meluncurnya pesawat yang menunjam tubuh sungai mengakibatkan air sungai terlontar ke udara, dengan ketinggian yang tak pernah terlihat sebelumnya. Air sungai bergejolak, seolah-olah ada peperangan dahsyat di bawah sana.

***

Malam itu terasa mencekam sekali. Membuat bulu kuduk kami merinding. Namun tak jua membuat kami menutup pintu, dan justru memperbincangkan apa yang telah terjadi. Desas-desus mulai terbang ke sana-kemari. Menembus dinding-dinding kami. Mengalahkan kabar-kabar burung sepalsu apapun. Malam itu aku dan kebanyakan warga lainnyatak bisa tidur dengan nyenyak. Air sungai kami hari itu berwarna pelangi. Penuh minyak. Dan berbau. Avtur!

***

Pagi harinya, kabar itu mulai lebih jelas. Sebuah pesawat Silk Air Penerbangan Jakarta menuju Singapura telah jatuh tepat sungai Musi. Hanya beberapa puluh meter dari delta anak sungai musi yang meneruske rumah-rumah kami. Seluruh penumpang tewas termasuk awak kabin, juga pilot dan co-pilotnya.

Tubuh pesawat Silk Air kala itu ternyata hancur berkeping-keping. Sebagian diantaranya bahkan menunjam ke dasar sungai Musi yang ternyata sangat dalam. Beberapa kepingnya mengalir ke anak sungai Musi, termasuk anak sungai Musi yang mengalir ke desa kami. Salah satu serpihannya berukuran 0,5 m x 0,5 m mengalir ke sebuah jeramba dekat rumahku, yang kemudian diambil oleh salah seorang relasi kami yang ketika itu tengah tinggal di rumah ku. Sebagian serpihan pesawatnya juga jatuh dan menunjam ke tanah di sebuah desa yang beberapa jam perjalanan dari tempat kami.

Sebenarnya aku merasa sangat tidak nyaman dengan kehadiran serpihan tubuh pesawat Silk Air yang kemudian hadir di rumah kami. Terutama karena ia berbau aftur. Bau yang sangat tidak nyaman. Lebih-lebih jika harus mebayangkan apa yang baru saja terjadi padanya.

Tapi, serpihan itu ternyata tidak lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang dipungut oleh warga lain dari sungai.

Beberapa diantara mereka menemukan sepatu yang diketahui mahal, namun masih terdapat potongan kaki di dalamnya. Atau menemukan topi, yang robek. Lalu serpihan-serpihan tubuh seperti telinga, jari, dan lainnya. Beberapa yang agak beruntung menemukan perhiasan seperti kalung atau gelang. Atau mungkin cincin (yang masih menempel pada jari manis tak bertubuh) ?

Desa kami mencekam ketika malam. Namun ramai menjelang matahari menggagah di atas awan cumulus. Rumah sakit (atau mungkin puskesmas) selama seminggu tak ubahnya menjadi kamar jenazah terpanjang. Jenazah-jenazah yang tak utuh, dan tak dikenali. Hanya ada serpihan-serpihan tubuh yang tak utuh yang dibungkus dengan kantung jenazah berwarna orange, dan kuning.

Belasan helikopter terparkir di lapangan sepakbola yang berada tepat di samping Rumah Sakit.

***

Aku tidak bisa berkata banyak tentang kejadian itu. Mengerikan. Menyedihkan. Mencekam. Namun pun aku merasa beruntung, pernah mengalami peristiwa yang sangat dahsyat, yang tak semua orang mungkin akan menemuinya.

***

Serpihan pesawat Silk Air yang berada di rumahku akhirnya diberikan kepada TNI AU yang mungkin menyadari ada “sesuatu” di rumah kami melalui radar (?). Hanya 3 hari sejak kecelakaan itu terjadi.

***

Hampir sebulan, berita itu lalu mereda. Meski butuh waktu setahun untuk benar-benar menghilangkan peristiwa itu dari ingatan kami.

Ditulis ketika sedang menunggu sebuah kelas berakhir

Gedung Auditorium B lantai III,

Fakultas Geografi UGM

Kamis, 24 Oktober 2013 , 17:00

Ahmad Muhaimin Alfarisy

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun