Mohon tunggu...
ahmad muchlishon
ahmad muchlishon Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dari Desa, Oleh Desa dan Untuk Desa

24 Januari 2015   15:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam UU No. 6 2014 tentang Desa disebutkan bahwa yang dinamakan Desa adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa merupakan tingkat pemerintahan terkecil dalam suatu Negara. Meski demikian peran desa sangatlah vital dalam memajukan sebuah bangsa. Karena ia menjadi penyokong utama –dalam hal kebutuhan hidup seperti hasil pertanian, peternakan dan lainnya- bagi kota-kota besar.

Para founding fathers Indonesia menyadari bahwa wilayah Indonesia memiliki beribu-ribu pulau dan suku bangsa, maka dari itu mereka dengan bijaksana menempatkan desa sebagai unsur pemerintahan terdepan. Mereka yakin bahwa apabila desa-desa Indonesia maju, demokratis, sejahtera dan mandiri maka Indonesia akan menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam percaturan bangsa-bangsa dunia.

Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menyatakan bahwa jumlah desa ada 77.548 yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun sayang, menurut Ketua Umum Asosiasi Kabupaten Tertinggal (Askati), Mulyadi Jayabaya, mengatakan bahwa sebanyak 32 ribu desa di Indonesia masuk kategori desa tertinggal, desa-desa tersebut tersebar di 183 Kabupaten dengan jumlah penduduk 57,7 juta jiwa.

Selama ini desa hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan Pemerintahan Pusat. Pembangunan yang bersifat sentralistik atau Top-Down hanya menjadikan desa sebagai ‘upeti semata bagi kota-kota besar. Pembangunan yang eksploitatif menjadikan desa semakin terpuruk dan tertinggal hingga menyebabkan kesenjangan yang menganga antara yang di desa dan yang di kota, antara rakyat alit dan rakyat elit. Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi angin segar yang berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi daerah. Meski demikian, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat menempatkan pembangunan desa sebagai objek semata. Untuk menyempurnakan peran desa maka lahirlah UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, UU tersebut mendorong desa untuk mandiri.

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi, Marwan Ja’far, memiliki Nawa (sembilan) kerja prioritas yang salah satunya programnya adalah Gerakan Desa Mandiri di 3.500 desa pada tahun 2015, pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur 3.500 desa serta pengembangan 5.000 Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes). Ia menekankan agar desa bisa hidup mandiri dan menempatkan desa sebagai subjek dalam pembangunan.

Marwan Ja’far memaparkan ada tiga indikator desa mandiri yaitu Desa yang tangguh dan lestari: memenuhi semua checklist kesiapan bencana dan 80 % rumah tangga mengikuti gerakan pilah kompos dan daur ulang, Desa yang sehat: memiliki angkat 0% ibu dan anak yang meninggal dalam kelahiran dan 95% rumah tangga memiliki fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK), Desa yang pintar: 97,5% penduduk diatas 10 tahun bebas buta huruf. Dalam mewujudkan desa mandiri ia mengajak kepada seluruh elemen desa baik warga desa, perangkat desa dan Pemerintah Daerah untuk bersinergi dalam pembangunan desa.



Gerakan Desa Membangun (GERDEMA)

Program Gerakan Desa Membangun (Gerdema) diusung oleh Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan. Ia berkeyakinan bahwa sebuah desa bisa maju dan sejahtera manakala desa tersebut ditempatkan sebagai subjek dalam pembangunan, bukan objek. Hanya desa itu sendiri yang tahu kebutuhan dan permasalahannya. Maka dari itu ia mencetuskan program Gerdema untuk membangun desa yang mandiri.

Gerdema merupakan program pembangunan desa yang bersifat down-up atau dari bawah ke atas. Ia menempatkan desa sebagai pelaku dan menempatkan Pemerintah Daerah sebagai supervisor. Gerdema dibangun sejak tahun 2013 dan sekarang telah banyak pembangunan desa yang telah diraih. Dalam Gerdema ada empat kunci utamanya yaitu Pertama memberi kepercayaan penuh kepada desa untuk membangun, karena selama ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meragukan kemampuan desa dalam mengurus dirinya sendiri. Dengan memberi kepercayaan diri, desa akan lebih mantap dan optimis dalam menyelesaikan permasalah dan memenuhi kebutuhannya.

Kedua memberi pelatihan dan program pemberdayaan sumber daya manusia. Sebelum menyerahkan pembangunan sepenuhnya kepada desa, Pemerintah Daerah sebaiknya memberi pelatihan, training, dan program pemberdayaan sumber daya manusia kepada seluruh elemen desa. Dengan pelatihan sumber daya manusia tersebut maka akan menciptakan orang-orang yang siap dalam pembangunan.

Ketiga Pemerintah Daerah memberi pengawasan dan evaluasi terkait kinerja Gerdema. Tugas Pemerintah Daerah adalah memberi masukan, pertimbangan, arahan hingga pada tahap evaluasi Gerdema. Dengan menjadi Supervisor, Pemerintah Daerah akan menjadi kontrol dan pengawal bagi terlaksananya Gerdema.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun