Fenomena ini semakin diperburuk oleh budaya konsumsi yang didorong oleh media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok menghadirkan realitas yang dikurasi, di mana tampilan gaya hidup glamor mendominasi feed pengguna. Representasi ini menciptakan standar kebahagiaan yang berbasis konsumsi, memicu rasa tidak cukup dan menumbuhkan keinginan yang lebih banyak berasal dari ekspektasi sosial ketimbang kebutuhan nyata. Dalam konteks ini, tekanan untuk menampilkan kehidupan yang serba mewah sering kali lebih besar daripada kesadaran akan konsekuensi finansial yang menyertainya.
Selain itu, psikologi perilaku konsumen menunjukkan bahwa individu cenderung merasionalisasi keputusan finansial mereka dengan berpikir bahwa utang konsumtif adalah investasi sosial, sebuah cara untuk memperoleh pengakuan dan validasi dari lingkungan sekitar. Akibatnya, siklus utang terus berlanjut, menciptakan ketergantungan pada fasilitas kredit yang justru memperparah ketidakstabilan ekonomi pribadi. Jika tidak diimbangi dengan literasi finansial yang memadai, kondisi ini berpotensi menjerumuskan masyarakat ke dalam lingkaran ketidakmampuan finansial yang berkepanjangan.
Melampaui Konsumsi yang Menata Ulang Cara Hidup
Ironisnya, meskipun konsumsi dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi, tidak semua kelompok masyarakat mendapat manfaat yang sama. Kapitalisme modern mengandalkan prinsip bahwa semakin tinggi permintaan, semakin besar keuntungan yang didapat oleh produsen. Namun, dalam praktiknya, yang diuntungkan adalah segelintir perusahaan besar yang mendominasi pasar, sementara konsumen biasa justru menjadi roda penggerak sistem ini tanpa benar-benar memperoleh kesejahteraan yang berkelanjutan.
Di sisi lain, dampak lingkungan dari konsumsi berlebihan sering kali terabaikan dalam diskusi ekonomi arus utama. Produksi massal dan eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat modern telah mendorong krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Dalam kajian yang dilakukan oleh Santoso dan Lestari (2021) dalam jurnal Ekonomi Hijau dan Konsumerisme, ditemukan bahwa peningkatan konsumsi rumah tangga secara langsung berkorelasi dengan tingginya limbah industri dan emisi karbon. Maka, pertanyaannya: apakah harga dari konsumerisme yang tak terkendali adalah masa depan yang penuh dengan krisis lingkungan?.
Mungkin, jalan keluar dari paradoks ini tidak terletak pada berhenti mengonsumsi, tetapi pada bagaimana kita mengubah pola pikir kita tentang konsumsi itu sendiri. Kesadaran akan konsumsi berkelanjutan mulai berkembang dalam berbagai gerakan sosial di Indonesia. Konsep minimalism dan slow living yang semakin populer mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari banyaknya barang yang dimiliki, tetapi dari bagaimana kita memberi makna pada apa yang kita miliki. Dalam penelitian oleh Setiawan (2022) dalam buku Ekonomi Berkelanjutan dan Keadilan Sosial, dijelaskan bahwa ekonomi berbasis keberlanjutan bukan hanya sekadar wacana, tetapi solusi nyata untuk membangun kesejahteraan yang lebih merata dan adil.
Menutup Jendela, Membuka Kesadaran
Konsumerisme merupakan fenomena ekonomi yang kompleks dan penuh paradoks. Di satu sisi, konsumsi yang tinggi menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain, konsumsi yang tidak terkendali memperdalam kesenjangan ekonomi dan memperburuk kondisi lingkungan. Paradoks ini dapat diatasi melalui perubahan sosial dan kebijakan ekonomi yang lebih adil, serta kesadaran individu untuk mengadopsi pola konsumsi yang lebih bijak. Dengan merujuk pada kajian akademis dari Wijaya (2020), Rahardjo (2018), serta Santoso dan Lestari (2021), dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam konsumsi akan membantu menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, distribusi kesejahteraan, dan kelestarian lingkungan dalam jangka panjang.
Kesadaran akan konsumsi bukan hanya tentang memilih barang yang lebih sedikit atau lebih ramah lingkungan, tetapi juga memahami bagaimana pola konsumsi kita membentuk tatanan sosial dan ekonomi. Pada akhirnya, jika kita bisa mengubah perspektif dari sekadar membeli untuk memiliki menjadi membeli untuk memberi nilai, mungkin kita bisa keluar dari lingkaran paradoks ini dan menciptakan kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna.
Kita telah mencapai titik di mana konsumsi bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi, tetapi telah menjadi cara manusia mendefinisikan dirinya. Paradoks konsumsi bukan hanya tentang angka-angka dalam laporan keuangan, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami kebahagiaan, ketidakpuasan, dan eksistensi kita sendiri.
Jika kita terus hidup dalam logika bahwa lebih banyak selalu lebih baik, maka tidak ada batasan bagi keinginan. Namun, jika kita mulai melihat bahwa kebahagiaan tidak selalu bergantung pada kepemilikan, mungkin kita bisa melangkah keluar dari lingkaran konsumsi ini dan menemukan cara hidup yang lebih seimbang.