Menjelajahi Konsumerisme Antara Kenikmatan Sesaat dan Realitas Ekonomi
Kita hidup di zaman di mana batas antara kebutuhan dan keinginan semakin kabur. Ada sesuatu yang ironis dalam peradaban modern, kita membeli lebih banyak, tetapi merasa semakin kekurangan. Kita mengejar kebendaan seakan-akan kebahagiaan bisa dijajarkan di rak-rak toko dan diantar ke depan pintu. Konsumerisme ibarat ombak yang tak henti menghantam pantai, mengukir jejak dalam kehidupan sehari-hari, mendikte kebutuhan, serta menciptakan ilusi tentang status dan kebahagiaan. Dengan gempuran iklan, budaya diskon, dan dorongan sosial untuk selalu 'lebih', kita tak hanya membeli barang, melainkan juga cerita yang menyertainya, tentang siapa kita dan siapa yang kita ingin jadi.
Di Indonesia, di mana kelas menengah berkembang pesat, fenomena ini makin terasa. Lihatlah mal yang kian ramai, gerai kopi yang tak pernah sepi, atau antrean panjang saat pesta diskon besar-besaran digelar. Menurut Wijaya (2020) dalam Dinamika Konsumerisme di Indonesia, lonjakan daya beli tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan. Justru, banyak yang terperangkap dalam siklus konsumsi yang tidak berkesudahan, terjebak dalam ilusi kesejahteraan yang dibangun di atas kredit dan utang.
Fenomena ini semakin diperjelas oleh penelitian Widyastuti (2019) dalam jurnal Perilaku Konsumtif di Era Digital. Digitalisasi telah menciptakan pasar tanpa batas, di mana setiap individu bisa membeli apa pun dalam hitungan detik, cukup dengan sekali klik. Barang-barang yang dulunya bersifat sekunder kini diperlakukan sebagai primer, bukan karena kebutuhan, tetapi karena tekanan sosial dan citra yang dibangun melalui media. Kita menginginkan sesuatu bukan lagi karena manfaatnya, melainkan karena takut tertinggal dalam arus tren yang berubah begitu cepat.
Namun, di balik hiruk-pikuk konsumsi, ada paradoks besar yang tak bisa diabaikan. Jika belanja adalah mesin penggerak ekonomi, mengapa masih banyak yang merasa tercekik secara finansial? Mengapa pertumbuhan konsumsi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan? Studi Santoso dan Lestari (2021) dalam jurnal Ekonomi Hijau dan Konsumerisme menunjukkan bahwa tingginya tingkat konsumsi justru sering kali menciptakan kesenjangan sosial yang lebih lebar, di mana mereka yang memiliki akses terhadap modal semakin kaya, sementara yang lain semakin tertinggal dalam jeratan utang konsumtif.
Kita hidup di era di mana wishlist lebih panjang daripada daftar kebutuhan pokok, dan kebahagiaan sering kali diukur dari seberapa banyak barang yang bisa dikoleksi, bukan dari kualitas hidup yang sesungguhnya. Lantas, ke mana sebenarnya arah peradaban jika kita terus menjadikan konsumsi sebagai tujuan utama? Tulisan ini akan menelusuri paradoks tersebut, membedah berbagai perspektif ekonomi dan sosial, serta mengupas bagaimana konsumsi yang tak terkendali bisa berujung pada jebakan ekonomi dan degradasi lingkungan yang sulit dibendung.
Janji Manis Konsumsi Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan
Konsumerisme adalah paradoks yang hidup dalam dua dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia menjanjikan kebahagiaan dalam bentuk kepemilikan, di sisi lain, ia menciptakan lubang hitam yang menelan kesejahteraan finansial dan ketenangan jiwa. Dalam realitas ekonomi yang semakin kompleks, manusia modern dihadapkan pada ilusi yang terstruktur rapi, bahwa lebih banyak barang berarti lebih banyak kebahagiaan. Namun, semakin banyak yang kita beli, semakin besar pula rasa kekurangan yang kita rasakan.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perilaku individu, tetapi juga menggambarkan wajah ekonomi yang dipenuhi kontradiksi. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Wicaksono (2019) dalam jurnal Konsumsi dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia, tingginya konsumsi tidak selalu berdampak pada pemerataan kesejahteraan. Konsumerisme menciptakan perbedaan mencolok antara mereka yang mampu membeli tanpa berpikir dua kali dan mereka yang harus bekerja lebih keras hanya untuk sekadar memenuhi standar sosial.
Salah satu dampak paling nyata dari paradoks ini adalah ilusi kemakmuran yang dihadirkan oleh kredit konsumtif. Kartu kredit, cicilan tanpa bunga, dan pinjaman daring tampak seperti jembatan menuju gaya hidup yang lebih baik. Namun, di balik kemudahan tersebut tersembunyi jebakan finansial yang perlahan menjerat individu tanpa disadari. Studi oleh Prasetyo dan Handayani (2021) dalam Jurnal Ekonomi Perilaku Konsumen menunjukkan bahwa 65% responden mengalami tekanan finansial akibat gaya hidup konsumtif yang tidak sejalan dengan pendapatan mereka.
Bayang-Bayang Media Sosial dan Kehausan akan Validasi