Mohon tunggu...
Ahmad Lukman
Ahmad Lukman Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis itu gaya hidup... ahmadlukman-alhakiem.blogspot.com www.facebook.com/ahmad.lukmanelhakiem @ahmadlukman7

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tasikmalaya, Kota Pesantren?

9 Oktober 2013   10:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:47 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis terhenyak, ketika membaca headline berita sebuah koran lokal daerah Priangan edisi 5 Oktober 2013, beberapa hari yang lalu. Yakni, berita mengenai direnggutnya kehormatan seorang gadis 14 tahun, oleh tujuh orang pria yang masih remaja di Tasikmalaya. Hal ini seolah menjadi tamparan hebat bagi kita semua, khususnya warga Tasikmalaya.

Tasik yang biasa dikenal dengan berbagai gelar kehormatan ideal, seperti kota santri, seribu pesantren, relijius islami, atau gelar lain yang sepadan, harus mulai bercermin lalu berbenah. Jangan-jangan, gelar tersebut telah membuat kita lengah. Kemudian terlena dalam kenyamanan yang dilandasi ketidaktahuan (atau bahkan pura-pura tidak tahu).

Memang, terlalu dini untuk menyimpulkan, bahwa aneka gelar ideal tadi tidak layak lagi disematkan pada Tasikmalaya. Karena, bagaimanapun juga, ribuan pesantren dengan jutaan kiai dan santri, benar-benar hadir di sini. Tetapi, di luar itu, kita tidak bisa menutup mata, bahwa berbagai persoalan telah melilit kota ini. Salah satunya kejadian di atas.

Penulis tidak sedang melakukan penyimpulan (generalisasi) dari kejadian ini. Tetapi hanya mengingatkan, bahwa kita tidak boleh larut dalam kenyamanan, sehingga lupa terhadap berbagai persoalan yang muncul di sekeliling. Kejadian ini, sudah selayaknya dijadikan bahan untuk melakukan introspeksi (mawas diri) masing-masing. Apa pun posisi dan peran kita dalam kehidupan, sama-sama memiliki tanggungjawab dalam membangun dan mengawal kota ini. Termasuk di dalamnya pondok pesantren.

Tentu kita tidak berharap, hanya karena satu kasus, rusak seluruh citra Tasikmalaya. Semoga dengan seribu pesantrennya, adagium Tasik relijius islami bukan retorika politik semata.

Menela’ah Pesantren di Tasikmalaya

Pesantren memiliki hubungan tersendiri dengan daerah-daerah di nusantara, termasuk Tasikmalaya. Sebagai lembaga yang khas, ia sudah melekat kuat dalam perjalanan sejarah kita. Pesantren di Tasikmalaya, tercatat sebagai salah satu tempat lahirnya para pejuang kemerdekaan. Tidak hanya itu, lembaga ini ikut andil dalam mengisi kemerdekaan bangsa kita, serta telah terbukti mampu melahirkan banyak tokoh berpengaruh di negeri ini.

Ia bukan hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi lebih dari itu, mampu memosisikan diri sebagai lembaga budaya, sosial, juga ekonomi. Bahkan, Gus Dur (1988), menyebutnya sebagai sub kultur, dan memberi gelar kiai sebagai agen budaya. Pesantren sebagai institusi sosial tidak hanya berbentuk lembaga –dengan seperangkat pendukung seperti masjid, ruang mengaji, asrama (kobong) santri, beberapa guru dan kiai- tetapi merupakan entitas budaya yang berdampak terhadap kehidupan sosial yang melingkupinya.

Sejauh ini, pesantren dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang dan damai. Di dalamnya, para santri (cantrik) mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter. Sementara kiai (sang guru), menyerahkan diri, jiwa dan raga mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Solidaritas, kebersamaan, persaudaraan, dan ketulusan menjadi ciri tersendiri yang membekas kuat dalam benak kita mengenai lembaga ini. Sehingga wajar, jika ia dipercaya untuk mengawal kehidupan, melahirkan manusia ideal, agen budaya baik, memproduksi cara berpikir yang sempurna, serta tugas-tugas mulia lainnya.

Jika demikian, mau tidak mau, gelar seribu pesantren harus mampu menyelamatkan kota ini dari berbagai masalah sosial yang mencerminkan kebobrokan moral. Baik itu yang dilakukan oleh warga sekitar pesantren, maupun oleh mereka yang bergelar “alumni” pesantren.

Memang, jika hanya menghubungkan kasus di atas dengan pesantren, sangat tidak bijak. Apalagi menyalahkan pesantren sebagai institusi. Tetapi, hemat saya, dalam persoalan seperti ini, pesantren memiliki andil tersendiri untuk menjawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun