Langit pagi ini tampak merah sekali, mungkin akan pertanda sesuatu?
Itu pertanyaan anak saya yang masih kelas 6 SD. Saat pertanyaan itu dilontarkan hari sudah hampir pukul 6 pagi. Bagi saya, tentu saja wajar langit terlihat kuning-oranye bahkan merah, karena bertepatan dengan matahari yang baru terbit. Maka saya jawab sederhana, “Ya, karena ini pagi, Nak. Langit pagi memang begitu. Cahaya matahari baru muncul dari ufuk timur, sinarnya belum sepenuhnya terang, masih bercampur dengan sisa remang malam yang perlahan hilang. Itulah kenapa warnanya jadi kuning, jingga bahkan kemerahan.”
Dari pertanyaan itu terbesit di fikiran saya kenapa anak sekecil itu sudah punya pertanyaan yang berbau mistik. Yang menjadi pertanyaan darimana pemikiran itu bisa di dapat. Apakah dari pergaulan bersama teman-temannya di sekolah, atau dari orang dewasa yang pernah ngobrol dengannya? karena setahu saya, saya tidak pernah mengajarkan logika seperti itu.
Ya itu adalah logika mistika yang pernah di bahas oleh Tan Malaka dalam buku nya Madilog. Tan Malaka memang terkenal sebagai seorang tokoh yang memerangi logika mistika yang banyak di anut massyarakat di Indonesia.
Bagi Tan Malaka, logika mistika adalah Cara berpikir yang menjelaskan segala sesuatu dengan hal gaib, mitos, atau kepercayaan tanpa dasar rasional. Misalnya sakit dianggap karena “dihantui makhluk halus”, gagal panen karena “kutukan”, atau keputusan penting diambil berdasarkan “petunjuk mimpi” bukan data dan analisa nyata. Intinya fenomena alam maupun sosial selalu dikaitkan dengan kekuatan supranatural, bukan hukum sebab-akibat yang rasional.
Logika mistika di perangi oleh Tan Malaka karena membuat masyarakat stagnan, pasrah, tidak kritis dan mudah dikendalikan. Orang berfikir mistik lebih memilih pasrah dibandingkan berusaha atau mencari penyebab nyata untuk memperbaikinya.
Ternyata setelah sekian lama sejak madilog di tulis oleh Tan Malaka, logika mistika tidak otomatis hilang dari masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, saya mencoba menerangkan kepada anak saya bahwa warna langit kuning-jingga kemerahan itu disebabkan oleh fenomena alam. Secara ilmiah langit tampak jingga kemerahan saat matahari terbit dan tenggelam karena cahaya matahri yang masuk ke atsmorfir bumi masih miring. sehingga harus melewati atsmosfir yang berlapis dan lebih tebal.
Partikel udara dan debu di atsmorfer lebih banyak menyebarkan cahaya dengan panjang gelombang pendek (biru-ungu) sehingga yang tersisa dominan adalah panjang gelombang panjang (merah-oranye-kuning). Mangkanya langit tampak terbakar warnanya.
Tentu saja penjelasan ini saya dapatkan dari chatGPT. Saya juga tak punya ilmu pengetahuan yang cukup untuk itu. Namun, saya tidak ingin anak-anak saya kelak mewariskan logika mistika sehingga terjebak pada dunia mistis yang dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Di masyarakat kita yang masih minim literasi memilih jalan lain dalam menghadapi fenomena-fenomena seperti ini. Bahkan bisa dikatakan budaya tutur kita - yaitu kebiasaan untuk menyampaikan fenomena, pengetahuan, nilai atau cerita secara lisan dari satu generasi ke generasi - menyebabkan orang Indonesia lebih banyak belajar melalui cerita, petuah, dongeng, pepatah lisan atau nasehat.
Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan fenomena seperti ini disampaikan melalui kisah atau dongeng. Maka cara berpikir masyarakat terbiasa mencari jawaban ghoib. Contohnya ketika ada panen yang gagal disimpulkan ada kutukan, ketika air laut pasang berarti nyi roro kidul sedang marah. Dan kisah-kisah lainnya.
Jika anak-anak sejak kecil terbiasa mendapatkan jawaban berupa kisah mistis atau mengawang-ngawang, itu bisa menanamkan logika mistiska sejak dini.
Meskipun begitu, budaya tutur lisan kita adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia yang tetap harus kita lestarikan. Oleh karena itu harus ada perubahan terhadap budaya tutur lisan kita. Bagaimana caranya? caranya kita harus mampu menjadikan budaya tutur lisan kita lebih ilmiah. Kita harus menggunakan budaya tutur lisan sebagai media, sedangkan logika ilmiah sebagai isinya.