Dalam momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) saya iseng menanyakan kepada teman, apakah ingat dengan momen Harkitnas? Sejarah apa yang kita peringati? Dengan polos mayoritas teman yang saya tanya nyeletuk "kalo harpitnas kita inget, hari kejepit nasional alias hari kerja yang berada di antara hari libur," lalu kami tertawa Bersama-sama.
Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin orang-orang seusia saya yang juga biasa bekerja pada "hari kerja" akan setuju dengan celetukan teman-teman tadi, bahwa yang kami ingat adalah harpitnas bukan harkitnas. Karena bagi kami hari kejepit itu sangat menyebalkan, dimana kita harus bekerja diantara dua hari libur. Rasanya"tanggung banget."
Ya, setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Harkitnas. Banyak yang tidak ingat bahwa momen itu adalah sebuah momen bersejarah yang menandai lahirnya kesadaran kolektif oleh kaum terpelajar pada tahun 1908 untuk bersatu, bangkit dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Pada 20 Mei 1908 berdirilah organisasi modern pertama di Indonesia yang di beri nama Boedi Oetomo.
Sejak saat itu semangat berorganisasi tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia. Organisasi di pandang sebagai instrumen strategis untuk mengumpulkan aspirasi, memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan nasional.
Dalam semangat itulah organisasi-organisasi terus bermunculan dan mencakup segala bidang. Organisasi sosial, kepemudaan, profesi, agama, hingga organisasi kemasyarakatan. Tidak hanya sampai di situ, organisasi juga berkembang ke organsasi berdasarkan minat dan hobi dan komunitas.
Namun sayangnya cita-cita luhur yang dahulu melandasi semangat berorganisasi kini mulai tercemar oleh perilaku segelintir kelompok yang menyalahgunakan bentuk dan nama organisasi. Kini tumbuh organisasi-organisasi yang hanya dijadikan suatu bentuk legitimasi untuk melakukan pelanggaran secara hukum maupun secara etika. Hal ini menjadi ironi pahit ditengah semangat kebangkitan yang seharunya menjunjung tinggi nilai-nilai keadapan dan hukum.
Alih-alih menjadi alat perjuangan, organisasi malah dijadikan alat intimidasi. Dengan membawa atribut, simbol-simbol, dan bendera organisasi sebagian organisasi justru memalak pedagang, meminta jatah bisnis lahan parkir, bisnis keamanan, menakut-nakuti pedagang, bahkan ikut campur dalam proyek-proyek besar baik dari pemerinah maupun swasta.
Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah kasus premanisme berkedok organisasi mencuat ke publik. Pada tahun 2021 muncul berbagai laporan masyarakat dan pengusaha yang mengaku di palak atau di intimidasi oleh anggota organisasi tertentu saat hendak menjalankan usaha. Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Makassar tak jarang sejumlah organisasi mendatangi proyek Pembangunan atau usaha baru lalu meminta jatah keamanan, kontribusi sosial bahkan memaksa untuk dilibatkan dalam proyek tertentu tanpa kapasitas yang relevan.
Hal tersebut memaksa Kapolri saat itu untuk menindak tegas organisasi yang memaksakan kehendaknya. "Negara tidak boleh kalah oleh ormas yang bertindak seperti preman, siapapun pelakunya kita tindak," tegas Kapolri saat itu.
Baru-baru ini juga muncul kembali kasus-kasus serupa seperti penyegelan sebuah pabrik di Barito Selatan, Kalimantan Tengah oleh sebuah organisasi kemasyarakatan. Lalu ada pembakaran tiga mobil polisi di Harjamukti, Depok. Selain itu ada pula kasus yang melibatkan organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Cilegon yang meminta proyek senilai 5 triliun. Menurut laporan mereka meminta proyek tanpa melalui proses lelang kepada PT China Chengda Engineering.
Fenomena ini merupakan pergeseran nilai-nilai awal terbentuknya organisasi seperti yang di perjuangkan Boedi Oetomo 117 tahun yang silam. Ia membajak nilai-nilai perjuangan yang diwariskan para pendiri bangsa yaitu semangat mencerdaskan dan mempersatukan bangsa.