Telah kita ketahui bersama bahwa masyarakat kita khususnya kaum muda telah mengonsumsi tsunami informasi dari media saban harinya; bahkan per detiknya. Hal itu sangat memicu merebaknya berbagai pemikiran lama, penelitiannya, pengolahannya, perevisiannya, bahkan sampai membuat pemikiran baru (walaupun seringkali masih serampangan).
Salah satu yang diangkat kembali adalah Feminisme vs Maskulinisme di masyarakat khususnya kaum muda. Apakah ini menjadi suatu hal yang baik; dimana kebangkitan feminisme pada kaum muda merebak luas, sehingga maskulinisme datang melawan sebagai penyeimbang? Ataukah sebaliknya?
Media sosial kolosal di Indonesia seperti Tiktok, produk Meta seperti Instagram, Facebook, Whatsapp, dll. menjadi konsumsi sehari-hari bagi yang memiliki gawai dan koneksi internet, sementara gawai dan internet sudah menjadi konsumsi yang massal di zaman ini. Berbagai dampak, sebab, dampak yang menjadi sebab, dan sebab yang menjadi dampak menjadi hal-hal yang lumrah di zaman kemajuan ini.
Salah satu hal lumrah itu adalah meningkatnya konsentrasi pemikiran kaum muda dan kebebasan berekspresi (terutama pasca Orde Baru, bagi Indonesia). Mungkin sebagian kita dapat relate atau "setuju karena merasakan hal yang sama" dari zaman pasca-Orde Baru, Progresivisme dan Ekspresionisme belum menjamur di Indonesia, hanya menjadi budaya kaum pemikir dan terdidik saja. Di zaman itu, pada masyarakat luas masih lumayan kental budaya Feodalisme, Mistikisme, Konservativisme, dan Otoriterisme.
Nah, terlepas dari ideologi-ideologi dan kejayaan kaum tua di masa lalu (mengingat seorang bijak mengatakan "yang berlalu biarlah berlalu, hari inilah yang penting" atau semacamnya), mari kita ulik bersama apa saja sisi positif dan negatif dari Ekspresionisme dan Progresivisme kaum muda, khususnya gejala "Standar Tiktok Kaum Hawa Vs Standar Facebook Kaum Adam".
Sisi Positif dari Ekspresionisme dan Progresivisme
1. Kebebasan berekspresi dan kritis menjamur di masyarakat, jelas. Sebab rakyat jelata juga butuh bersuara (walau kadang nyeleneh dan sering tak didengar)
2. Terdorongnya untuk selalu mencari kebenaran dibalik "kebenaran" yang sudah ada. Karena hakikatnya, kebenaran hakiki hanya milik Tuhan, dan manusia hanya memiliki kebenaran yang sedikit, dan selalu mungkin ada kebenaran yang lebih baik