Dalam ajaran nenek moyang kami, hutan disebut "ibu bumi"adalah tempat manusia belajar rendah hati. Kini saya sadar, kerusakan alam bukan hanya soal pohon tumbang, tapi juga tentang hati manusia yang mulai keras. Kita sibuk menaklukkan alam, padahal justru di sanalah letak keseimbangan hidup kita.
Hutan tidak bisa menulis surat protes, tapi ia bisa "bersuara" melalui bencana. Mungkin banjir, mungkin kekeringan, mungkin penyakit yang tak kunjung sembuh. Suara-suara itu kini semakin keras. Pertanyaannya: maukah kita mendengarkan sebelum semuanya terlambat?
Penutup: Saatnya Menjawab Panggilan Hutan
Setiap kali saya kembali ke desa, saya berhenti sejenak di tepi sungai yang dulu saya gunakan untuk mandi. Saya menunduk, mencium tanah, dan berbisik: "Maafkan kami."Karena hutan, air, dan tanah bukan benda mati. Mereka adalah saksi kehidupan kita sudah diam, tapi penuh makna. Ketika hutan bersuara, sebenarnya ia sedang mengingatkan kita untuk tidak kehilangan hati nurani.Jika kota sibuk dengan kebisingan mesin, maka biarlah desa menjadi tempat di mana suara hutan kembali didengar. Karena ketika hutan bisu, kita pun akan kehilangan masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI