Suatu pagi, kabut turun tebal di perbukitan dekat desa saya. Dulu, kabut itu menandakan kesejukan dan udara bersih. Namun kini, aroma asap dan plastik terbakar justru menyelinap bersama embun. Hutan yang dulu menjadi pelindung kini seperti sedang "bersuara" lirih dengan berteriak halus lewat udara yang sesak, air sungai yang keruh, dan tanah yang kehilangan aroma humus.
Saya dilahirkan  dan besar di desa kecil di pinggir hutan lindung. Bagi kami, hutan bukan sekadar deretan pohon. Ia adalah sumber kehidupan: tempat mencari air, rotan, jamur, madu, dan bahkan tempat berdoa. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, hutan di belakang rumah itu perlahan berubah. Satu demi satu pohon ditebang. Air sungai yang dulu jernih kini cokelat. Ikan lenyap, sawah kami mulai susah diairi. Hutan kami, pelindung kami, kini sedang sakit.
Dari Sunyi ke Jeritan
Ketika saya masih kecil, ayah sering mengajak saya menebang bambu di tepi hutan. "Jangan ambil semua," katanya, "sisakan untuk hidupnya." Kalimat itu sederhana tapi kini terasa seperti pesan wasiat. Banyak orang di desa kini mengambil kayu bukan lagi untuk hidup, tapi untuk dijual. Bukan salah siapa-siapa, karena kemiskinan dan kebutuhan sering memaksa orang lupa pada keseimbangan alam yang butuh waktu untuk membuat rimbun.
Namun hutan tidak diam. Ia "bersuara" lewat banjir yang datang lebih cepat, lewat longsor yang menelan sawah, lewat udara yang panas meski masih pagi. Setiap tetes air yang dulu menghidupi, kini membawa lumpur. Setiap angin yang dulu sejuk, kini membawa debu. Alam seakan menegur tanpa kata: kalian terlalu serakah, terlalu cepat melupakan akar.
Pencemaran yang Tak Terlihat
Pencemaran bukan hanya dari asap pabrik atau sampah plastik di kota besar. Di desa kami, pencemaran datang dalam bentuk yang lebih halus seperti limbah dari pupuk kimia, sabun cuci di sungai, dan pembakaran lahan kecil-kecilan yang dianggap "biasa". Semua itu menumpuk pelan, tapi dampaknya nyata. Anak-anak sering batuk. Sumur yang dulu segar kini berbau karat.penyakit diabetes, ginjal dan kolesterol menghantui kehidupan.Ironisnya, kami sering merasa pencemaran adalah masalah kota. Padahal, di desa pun racun-racun kecil mulai mengendap. Ia tidak langsung mematikan, tapi perlahan mengubah tubuh kita, tanah kita, dan masa depan anak-anak kita.
Membangun Kesadaran dari Akar
Saya percaya, perubahan tidak bisa menunggu peraturan turun dari pusat. Ia harus dimulai dari bawah, dari desa, dari kebiasaan kecil. Kami mulai membuat kompos dari sampah dapur, mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik, menanam bambu di tepi sungai. Beberapa anak muda di desa bahkan membuat eco-brick dari botol plastik dan mengajari warga lewat media sosial.
Awalnya banyak yang menertawakan: "Ah, paling nanti berhenti juga." Tapi setelah satu tahun, sungai kami mulai jernih kembali. Tidak sejernih dulu, tapi cukup untuk mencuci tanpa bau. Hutan kecil di bukit kembali ditanami bibit durian dan petai. Alam memang tidak menuntut banyak---hanya butuh sedikit perhatian dan waktu untuk pulih.
Hutan Bukan Warisan, tapi Titipan