Curiga itu memang  manusiawi. Itulah naluri kewaspadaan yang menyalakan alarm ketika ada yang ganjil. Tanpa curiga, manusia bisa lengah; namun dengan curiga yang berlebihan, manusia bisa buta. Di ruang publik yang riuh, kecurigaan sering berubah menjadi senjata menjatuhkan martabat manusia: label dilempar sebelum fakta diperiksa, martabat diruntuhkan sebelum kebenaran terungkap. Padahal, yang dibutuhkan bukan menumpas curiga, melainkan mengelolanya. Manajemen hati adalah strategi moral yang menahan kita dari fitnah, sekaligus mendorong kita bersikap tegas terhadap pelanggaran dengan nulari sesuai ajaran agama.
Curiga yang Menjaga vs Curiga yang Merusak
Curiga yang menjaga bekerja seperti sabuk pengaman: menahan laju emosi, meminta bukti, dan menunda vonis. Ia membuat kita bertanya, bukan menuduh; menyelidik, bukan mempermalukan. Sebaliknya, curiga yang merusak adalah megafon prasangka: ia memperkeras desas-desus, menghiperbolakan asumsi, dan menjatuhkan martabat orang sering kali hanya demi tepuk tangan di media sosial.
Di level pribadi, curiga yang merusak memicu stres dan sikap defensif permanen. Di level kelembagaan, ia melahirkan kebijakan berbasis paranoia: semua orang diperlakukan seolah bersalah hingga terbukti sebaliknya. Narasi publik pun mudah tergelincir dari pengawasan yang sehat menjadi perburuan karakter (character assassination).
Rambu Etik: Tabayyun, Bukan Tudingan
Kearifan kita sebenarnya sudah memberi rambu. QS Al-Hujurat [49]:6 mengajarkan tabayyun atau verifikasi sebelum menyimpulkan kabar. QS Al-Hujurat [49]:12 memperingatkan, "Jauhilah banyak dari prasangka... jangan mencari-cari kesalahan..." Pesannya lugas: boleh curiga, jangan memupuk prasangka; boleh waspada, jangan mengintai aib. Dalam etika modern, prinsip yang sama hadir sebagai due process dan presumption of innocence. Keduanya menegaskan: hormat pada martabat manusia tak boleh kalah oleh nafsu menghakimi.
Manajemen Hati: 7 Langkah Praktis
Agar curiga tetap sehat---terutama ketika menyangkut pejabat publik atau "oknum"---praktikkan langkah-langkah berikut:
- Tahan reaksi, minta bukti. Pisahkan "kabar" dari "fakta." Tanyakan: apa datanya, siapa sumbernya, apakah ada konfirmasi silang?
- Definisikan tuduhan secara spesifik. Bedakan perilaku dari pribadi. Kritik perbuatan yang terukur, bukan menyerang identitas.
- Skala proporsional. Besar klaim = besar bukti. Tuduhan korupsi tak bisa berdasar potongan video 10 detik.
- Uji motif dan konflik kepentingan. Apakah informasi datang dari pihak yang diuntungkan oleh kejatuhan seseorang?
- Gunakan jalur yang benar. Laporkan indikasi pelanggaran ke auditor, etik, atau aparat---bukan membakar linimasa.
- Beri hak jawab. Martabat dijaga dengan kesempatan menjelaskan. Tanpa itu, penghakiman publik hanyalah kerumunan yang bising.
- Pisahkan whistleblowing dari gosip. Pelapor pelanggaran membawa bukti dan prosedur; penyebar gosip membawa sensasi dan prasangka.
Untuk Publik & Media: Tegas Tanpa Menghina
Dalam demokrasi, publik berhak curiga pada kekuasaan. Namun, hak curiga bukan izin untuk menghina. Kritiklah kebijakan dengan data, sorotlah konflik kepentingan dengan dokumen, bukan dengan olok-olok. Media elektronik termasuk akun popular perlu menerapkan kebijakan ralat (correction policy) yang jelas. Jika terjadi kesalahan, akui, revisi, dan minta maaf. Martabat semua pihak akan terjaga ketika standar kita bukan "siapa yang paling cepat viralnya," tetapi siapa yang paling setia pada kebenaran.
Untuk Pejabat & Lembaga: Transparansi yang Menenangkan Curiga