Mohon tunggu...
Ahmad Gufron
Ahmad Gufron Mohon Tunggu... peneliti madya

menulis dan analisa politik, ekonomi dan pertanian, hukum agama islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dijajah tanpa merdeka; Saat bangsa sendiri menjadi kompeni baru

11 Oktober 2025   14:30 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:30 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagian bangsa indonesia gemar menuding masa lalu sebagai suatu akibat penjajahan, Belanda menjajah, hasil bumi dijarah. Namun, bila kaca mata dibersihkan dari romantisme, pola aslinya tampak: penindasan berjalan bukan hanya karena kekuatan asing, tetapi karena komprador domestic dari oknum demang tempo dulu hingga "polemik elit proyek" hari ini yang menukar martabat rakyat dengan kenyamanan pribadi. Inilah penjajahan paling licik: dilakukan oleh sesama anak bangsa, diselimuti bahasa "santun" dan "tata krama," tetapi memeras dari dalam.

Warisan terburuk kolonialisme bukan meriam atau gudang rempah, melainkan mentalitas perantara: setia ke atas, tega ke bawah. Dulu bentuknya upeti dan kerja paksa; kini menjelma menjadi rente kebijakan, mark-up pengadaan, dan ijon politik anggaran. Kita tampak merdeka, namun struktur penghisapannya tetap bekerja, hanya berganti seragam. Hasilnya: publik merasa hidup di negeri yang ramah di podium, tetapi bengis di birokrasi; sopan di pidato, namun kasar di anggaran.

Al-Qur'an memberikan kerangka etika yang jelas untuk membongkar ilusi ini. Pertama, amanah. Allah memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak dan agar kita menetapkan hukum dengan adil (QS. An-Nisa [4]:58). Ini bukan ayat kontemplatif semata; ia memukul jantung korupsi dan nepotisme. Setiap jabatan adalah titipan/amanah, bila dipakai untuk memperkaya lingkaran sendiri, amanah dikhianati dan legitimasi runtuh.

Kedua, keadilan yang tidak dapat dinegosiasikan. "Jadilah penegak keadilan, sekalipun terhadap dirimu sendiri" (QS. An-Nisa [4]:135). Ayat ini menghancurkan standar ganda: keras ke rakyat, lunak ke kolega; cepat ke bawahan, lambat ke atasan. Keadilan Qur'ani menolak loyalitas buta. Ia meminta keberanian moral melampaui rasa sungkan, gengsi, dan "budaya ewuh pakewuh" yang kerap dipakai untuk melindungi salah.

Ketiga, larangan memakan harta secara batil (QS. Al-Baqarah [2]:188). Korupsi tidak hanya merusak neraca keuangan negara; ia meracuni tatanan nilai. Setiap rupiah yang diselewengkan adalah waktu pelayanan publik yang hilang, obat yang tidak terbeli, jembatan yang tak pernah kokoh. Karena itu, korupsi bukan sekadar kejahatan administratif; ia adalah pengkhianatan spiritual terhadap amanah rakyat.

Keempat, larangan menghina dan merendahkan (QS. Al-Hujurat [49]:11). Budaya saling cela di ruang publik---dari talkshow hingga media sosial---membiakkan polarisasi, menumpulkan empati, dan tepat sekali menjadi "asap" yang menutupi api utama: ketidakadilan struktural. Ketika energi warga dihabiskan untuk saling menista, para perantara kepentingan bekerja tenang di balik layar.

Kelima, kecaman atas kecurangan (QS. Al-Mutaffifin [83]:1--3). Ayat ini menolak semua bentuk "main ukur"---dari takaran pasar hingga takaran kebijakan: standar ganda, konflik kepentingan, regulasi yang disetel demi segelintir. Bangsa tak akan makmur bila ukurannya curang; kepercayaan sosial terjun bebas saat publik tahu bahwa kompetisi ditentukan bukan oleh kualitas, melainkan kedekatan.

Masalah kita bukan kurangnya jargon "santun," melainkan membiarkan santun dipelintir menjadi alat pembungkaman. Kesantunan sejati bukan tunduk pada kebusukan, melainkan cara beradab untuk mengatakan kebenaran yang pahit. Maka, jika kita sungguh ingin merdeka dari penjajahan internal, ada lima koreksi strategis yang tak bisa ditawar:

  1. Etika publik berbasis amanah: semua pejabat menandatangani pakta integritas yang mengikat secara hukum---termasuk blind trust untuk aset rawan konflik kepentingan.
  2. Transparansi real-time: kontrak, vendor, perubahan anggaran dipublikasikan dalam dashboard publik yang bisa diaudit warga dan kampus---menghidupkan social audit sebagai praksis, bukan slogan.
  3. Perlindungan pelapor (whistleblower) yang nyata---anonimitas, bantuan hukum, dan jalur promosi yang tidak terhambat karena keberanian bersaksi.
  4. Anggaran anti-rente: aturan "open tender by default" dengan pengecualian sangat sempit, serta cooling-off period bagi pejabat yang hendak masuk bisnis terkait.
  5. Pendidikan karakter kebijakan: kurikulum layanan publik yang mengikat---mengaji ayat-ayat keadilan (An-Nisa 58, 135; Al-Maidah 8) sebagai kompetensi inti ASN, bukan sekadar sesi seremonial.

Inti dari semuanya adalah pembalikan arah: dari santun yang mematikan nurani menuju santun yang menghidupkan kebenaran; dari loyalitas kepada orang menuju loyalitas pada prinsip; dari kebanggaan simbolik menuju kejujuran substantif. Merdeka bukan soal bendera yang berkibar, melainkan sejauh mana kita memperlakukan sesama sebangsa dengan adil. Selama korupsi masih disebut "biaya lobi," selama celaan kepada warga lebih cepat daripada koreksi ke elit, selama amanah dipakai untuk menata kepentingan, kita masih dijajah---tanpa kompeni, tanpa kapal, tetapi oleh diri sendiri.

Saatnya menutup bab komprador domestik. "Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa" (QS. Al-Hujurat [49]:13). Ukuran mulia itu bukan jabatan, bukan jaringan, melainkan keberanian untuk jujur ketika mudah untuk curang, dan adil ketika mahal untuk adil. Dari situlah kemerdekaan sejati mulai ditulis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun