Sejak 1997 kita belajar krisis, tapi mengapa "soal dolar" tak kunjung selesai?
Dua puluh delapan tahun sejak krisis 1997/98, kita telah mengganti banyak kabinet, membangun banyak pabrik, menambang lebih dalam, dan membanggakan lebih banyak gelar---termasuk gelar ekonomi dari kampus-kampus terbaik dunia. Namun setiap kali dolar menguat, napas rumah tangga menyesak, biaya impor melonjak, modal asing keluar-masuk sesuka musim, dan perdebatan publik kembali ke judul lama: "Kenapa rupiah rapuh?" Pertanyaan getir pun muncul: ke mana para sarjana ekonomi lulusan luar negeri itu? Mengapa pengetahuan mahal mereka belum mengubah cara kita mengelola risiko kurs---bukan setahun dua tahun---melainkan hampir tiga dekade?
Jawabannya bukan karena mereka tak mumpuni. Masalahnya ada di di mana dan bagaimana mereka ditempatkan. Kita menaruh ekonom sebagai penyusun memo, bukan arsitek eksekusi. Kita menghadiahi mereka ruang seminar, bukan war room. Kita menilai mereka dari panjangnya laporan, bukan penurunan biaya hidup. Padahal inti "soal dolar" bukan teori, melainkan plumbing: bagaimana harga, stok, kontrak impor, logistik, dan lindung nilai diorkestrasi harian---dengan disiplin, data, dan kewenangan.
Tiga simpul yang terus melemahkan rupiah sudah kita hafal di kelas---namun jarang ditangani di lapangan.
Pertama, ketergantungan impor strategis. BBM, obat, bahan baku industri, pakan ternak---begitu kurs melonjak, biaya meledak. Tanpa SOP lindung nilai (hedging) dan Local Currency Settlement (LCS) yang benar-benar dipakai (bukan slogan), dapur rakyat akan terus menjadi bantalan pertama guncangan kurs.
Kedua, kandungan impor dan nilai tambah tipis. Kita bangga menambah "kapasitas", tetapi sering berhenti di smelter/perakitan. Dolar menguat sedikit, margin ambruk. Naik kelas produk---material maju, komponen, desain, dan merek---memerlukan kontrak insentif yang mengikat: listrik murah dan tax holiday hanya bagi pabrik yang membuktikan TKDN, ekspor olahan, dan belanja R&D di dalam negeri.
Ketiga, biaya 3L (lahan--logistik--listrik) yang keras kepala. Selama antarpulau mahal, listrik industri tak stabil, dan pelabuhan tidak sinkron, rupiah akan lemah bukan hanya karena pasar uang, tapi karena struktur biaya yang kalah bersaing.
Lantas, apa peran spesifik "sarjana ekonomi lulusan luar negeri"? Bukan sekadar menulis esai baru tentang de-dolarisasi. Tempatkan mereka di garis depan eksekusi, dengan mandat yang bisa diukur mingguan. Berikut rancangan "Mandat 100 Hari"---keras, praktis, dan publik bisa menagihnya.
1) War Room Pangan & Energi (harian).
Tugas: satukan data harga--stok--pasokan--cuaca--impor untuk 20 komoditas kunci; terbitkan playbook intervensi (operasi pasar, relaksasi distribusi, substitusi) dan jalankan.
KPI: selisih inflasi pangan terhadap inflasi umum 0,5 poin; stok aman minimal x minggu per komoditas.
2) Perisai Kurs untuk Impor Strategis.
Tugas: desain dan eksekusi SOP hedging BBM/obat/bahan baku; perluas LCS untuk transaksi regional; buat kalender pembelian agar tidak menumpuk di momen kurs buruk.
KPI: porsi nilai impor strategis yang terlindung ( 50%) dan porsi transaksi LCS naik konsisten.
3) Bedah 3L di Tiga Koridor Industri.
Tugas: audit biaya lahan--logistik--listrik per koridor; hilangkan 10 bottleneck terbesar (standar kontainer, jadwal kapal, akses rel, "green tariff" kawasan industri).
KPI: biaya logistik koridor turun 10--20%; reliabilitas listrik industri membaik nyata.