Mohon tunggu...
Ahmad Gufron
Ahmad Gufron Mohon Tunggu... peneliti madya

menulis dan analisa politik, ekonomi dan pertanian, hukum agama islam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

strobo terakhir aturan yang utama

23 September 2025   06:45 Diperbarui: 23 September 2025   06:45 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini tajam---namun santun---tentang kapan strobo layak dinyalakan

Jakarta tak pernah benar-benar diam. Di simpang mana pun, kita menemukan yang ngetem sembarangan, melawan arus, atau mengabaikan helm. Dalam situasi seperti itu, ada yang bertanya: kalau rakyat tidak sopan di jalan, apakah salah jika petugas menyalakan strobo agar misi tetap jalan? Jawaban pendeknya: strobo boleh---tapi hanya ketika fungsi publik benar-benar terancam dan prosedurnya sah. Bunyi dan cahaya bukan alat balas dendam, melainkan alarm keselamatan yang dipakai terakhir setelah semua langkah persuasif ditempuh.

Kenapa harus "terpaksa"?

Karena strobo itu bukan simbol kuasa, melainkan penanda prioritas risiko. Ia menuntut dua pembenaran sekaligus:

  1. Misi---ada nyawa, keamanan, atau kepentingan publik yang tak bisa menunggu (ambulans, pemadam, respons kejahatan/kerusuhan, pengamanan objek vital).
  2. Prosedur---dipakai oleh kendaraan berwenang dengan tata cara yang jelas, dicatat, dan bisa diaudit.

Tanpa dua hal itu, strobo berubah dari alarm menjadi arogansi. Dan begitu publik merasa diintimidasi, kepercayaan runtuh---bahkan pada sirene yang benar-benar darurat.

Tangga Isyarat: dari paling halus ke paling tegas

Budaya tertib lahir dari eskalasi yang wajar, bukan dari suara paling keras. Inilah etik "tangga isyarat" yang bisa dipahami semua pengguna jalan:

  1. Isyarat visual: jaga jarak, beri tanda arah, satu kedip lampu jauh.
  2. "Wuk-wuk" beradab: dua ketukan pendek, cukup untuk menyadarkan---bukan memaki.
  3. Petunjuk manusiawi: gestur tangan, aba-aba petugas di simpang.
  4. Strobo/sirene: hanya untuk misi prioritas, saat tiga lapis di atas gagal dan risiko publik naik.

Dengan tangga ini, kita mendidik tanpa mempermalukan dan menertibkan tanpa memancing ego.

Tiga Saringan Agar Strobo Tak Disalahgunakan

(1) Fungsi. Apa yang sedang dibela---nyawa, keamanan, atau kelancaran seremonial? Yang pertama dan kedua ya; yang ketiga tidak.
(2) Prosedur. Apakah kendaraan berwenang dan pola lampu/bunyinya sesuai standar? Ada log waktu dan lokasi? Bila ya, aman.
(3) Akuntabilitas. Apakah pemakaian bisa ditinjau ulang? Bodycam/dashcam aktif, dan ada QR/stiker resmi yang bisa dipindai. Tanpa akuntabilitas, semua klaim tinggal klaim.

Saat warga tak sopan, negara tetap harus sopan

Benar, pelanggaran publik sering membuat jalan macet: lawan arus, berhenti di tengah lajur, terobos lampu merah. Tapi negara tak boleh menukar ketidaktertiban dengan ketidaktertiban baru. Tugas petugas adalah menjaga aturan sekaligus menahan diri. Itu sebabnya:

  • Penegakan yang kelihatan lebih efektif dari suara keras: operasi 20-menit rutin di titik rawan, ETLE mobile untuk pelanggaran mematikan, dan penyitaan di hulu (bengkel yang memasang strobo ilegal).
  • Infrastruktur yang memudahkan patuh: kantong henti angkot, separator anti-lawan-arus, jalur prioritas pendek yang diawasi CCTV untuk ambulans/pemadam/patroli.
  • Transparansi: dashboard publik menampilkan jumlah penindakan harian, lokasi rawan, dan waktu respons---agar warga melihat hukum bekerja.

Kontrak Etik Dua Arah

Untuk Petugas/Armada Tugas

  • Strobo terakhir, bukan pembuka jalan. Mulai dengan isyarat visual dan "wuk-wuk" beradab, nyalakan strobo hanya bila misi prioritas dan lalu lintas benar-benar menutup ruang keselamatan.
  • Taat rekam jejak. Setiap aktivasi terekam otomatis 24--48 jam; siap diaudit atasan dan, dalam ringkasan, publik.
  • Hormat pada darurat lain. Jika ada ambulans di belakang, berilah jalan---nyawa selalu prioritas tertinggi.

Untuk Pengguna Jalan

  • 5S: Sabar--Sinyal--Sejajar--Sadar--Selamat. Beri jalan ketika ada isyarat tugas, berhenti ngetem di kantongnya, jangan lawan arus.
  • Laporkan, bukan konfrontasi. Dokumentasikan pelanggaran dari jarak aman; kirim ke kanal resmi. Efek jera lahir dari kepastian sanksi, bukan adu urat.

Mengapa pendekatan santun justru "tajam"?

Karena yang membuat orang patuh bukan suara paling keras, melainkan risiko ditindak yang konsisten dan alternatif patuh yang jelas. Ketika negara disiplin dan transparan, publik belajar menaruh hormat. Ketika publik mulai sopan, kebutuhan strobo pun menyusut dengan sendirinya.

Kesimpulan:
Di kota semacet Jakarta, strobo memang bisa menyelamatkan menit berharga---tetapi hanya bila fungsi, prosedur, dan akuntabilitas terpenuhi. Jadikan ia opsi terakhir saat etika berlalu lintas benar-benar runtuh, bukan alat untuk menaklukkan jalan. Dengan begitu, kita tidak hanya membuat orang minggir, tetapi juga mengajak semua kembali ke aturan---tanpa meninggalkan kesantunan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun