Ia selalu menyambut kami dengan senyum. Tak pernah gagal. Bahkan saat tubuhnya mulai renta dan langkahnya sudah tak sekuat dulu, nenek tetap memaksakan diri berdiri di depan pintu setiap kali kami datang. Matanya berbinar seperti pagi yang baru, dan suaranya, meski mulai gemetar, selalu terdengar hangat---seolah tak ada yang lebih ia nanti selain tawa dan kehadiran cucu-cucunya.
Tapi seiring waktu, aku mulai sadar: senyum nenek menyembunyikan sesuatu.
Ia pandai menyembunyikan luka. Luka yang tidak berdarah. Luka yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Luka yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar mau duduk lebih lama, diam lebih dalam, dan mendengar dengan hati yang tak buru-buru.
Dulu, nenek bercerita tentang masa kecilnya yang dipenuhi keterbatasan, tentang kehilangan kakek terlalu cepat, tentang anak-anaknya yang tumbuh dengan kerasnya zaman, tentang perjuangan yang tak pernah dilihat siapa-siapa. Tapi semua itu ia sampaikan sambil tertawa, seolah setiap luka itu tak apa-apa. Seolah semuanya memang harus seperti itu. Seolah tak pernah ada air mata yang diam-diam ia hapus di balik pintu dapur.
Di balik senyum nenek, tersimpan rindu yang tak pernah ia ucapkan. Kepada mereka yang tak sempat pulang. Kepada hari-hari yang tak bisa kembali. Kepada tubuhnya sendiri yang tak lagi setangguh dulu. Ia tak pernah menuntut anak-anaknya untuk datang lebih sering, tapi aku tahu, dari caranya memanaskan masakan berulang kali, ia menunggu. Ia menunggu dengan sabar yang nyaris menyakitkan.
Nenek tidak suka mengeluh. Baginya, menjadi tua adalah bagian dari hidup yang harus dijalani dengan lapang dada. Tapi kadang, saat ia pikir tak ada yang melihat, wajahnya berubah. Tatapannya kosong. Napasnya berat. Seperti ada sesuatu yang ingin ia ceritakan, tapi selalu urung. Mungkin karena ia takut membebani. Atau mungkin karena ia tahu, dunia sekarang terlalu sibuk untuk luka-luka yang datang dari masa lalu.
Luka nenek bukan soal materi. Ia bukan ingin rumah yang lebih besar atau perhiasan di laci. Ia hanya ingin ditemani. Didengar. Dipeluk tanpa diminta. Ia ingin seseorang datang bukan hanya saat lebaran, bukan hanya saat ada kabar sakit, tapi datang karena rindu. Karena ingin duduk bersama, makan bersama, dan tertawa meski tak ada cerita baru.
Senyum nenek tetap ada. Tapi kini, aku tahu senyum itu rapuh. Ia berdiri di atas luka-luka yang disimpan rapat bertahun-tahun. Dan mungkin, hadiah terbaik yang bisa kita beri bukan barang-barang mahal, melainkan waktu. Hadir. Menjadi teman bagi senyumnya. Menjadi penampung bagi lukanya.
Karena senyum nenek bukan bukti bahwa semuanya baik-baik saja. Kadang, itu adalah cara paling lembut untuk berkata, "Aku sedang menahan banyak hal, tapi aku tak ingin kalian khawatir."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI