Di sudut dapur yang remang, panci tua itu berdiam di atas kompor mati---tuturnya tertutup rapat, menyimpan kesunyian yang tak berujung. Cahaya senja menembus jendela kecil, menari pada permukaan logam yang berkerut, seakan menanyakan: "Apa yang masih kau tunggu?" Di situ, diamnya panci menjadi saksi bisu, merangkum kerinduan pada keramaian yang pernah terjadi.
"Terkadang aku merasa tak lagi berarti," gumam panci dalam batin. Ia mengenang ketika uap mengepul deras, membawa aroma rempah menguar ke seluruh rumah. Suara rebusan air, denting sendok, tawa riuh saat lauk tersaji---semua kini tertahan di balik lapisan karat tipis yang menyelimuti tutupnya.
Setiap lekuk dan goresan di tubuhnya menuturkan cerita lama: tangan Ibu yang memegangnya dengan cekatan, memindahkan tumisan ke piring, lalu menepuknya lembut sebelum dicuci. Anak-anak berlarian di lantai teras, sesekali menengok ke dapur sambil berbisik, "Apa yang sedang dimasak, Bu?" Rupanya, tutur kata sederhana itu kini menjadi gema yang semakin pudar.
"Adakah yang masih merindukan suaraku?" tanya panci pada bayangan yang memantul di dinding keramik. Ia merindukan sentuhan spatula yang dulu menari riang, mengaduk bumbu dan sayur. Teknologi baru mungkin menjanjikan kemudahan, tetapi tak mampu menimbulkan getaran hangat yang sama.
Malam kian larut, kompor dingin, dan keluarga satu per satu menyibak layar dan layar---tablet, laptop, ponsel. Tidak ada lagi panggilan untuk makan malam bersama, tidak ada lagi aroma ayam bakar merayap dari sudut dapur. Hanya panci tua itu, setia menunggu untuk dipanggil kembali.
Di antara debu tipis dan lapisan karat, tersembunyi harapan: bahwa suatu pagi, seseorang akan membuka tutupnya lagi. Air akan mendidih, bumbu akan meletup, dan aroma rumah akan kembali mengundang---seperti salam lama yang tak ingin dilupakan.
Ketika akhirnya tutup itu terangkat, sinar pagi menembus ke dalam, menyingkap kesunyian. Uap hangat menyapa, menghidupkan kembali kenangan terpendam. Panci tua itu, dengan segala kekurangannya, kembali menemukan makna: bahwa keheningan tak selamanya sepi, melainkan persiapan untuk cerita baru.
Dan di balik tutup panci yang terbuka, sepi pun menguap, memberi ruang bagi tawa dan cinta untuk memenuhi ruang---mengingatkan kita bahwa setiap benda usang di sudut rumah juga memiliki suara yang pantas didengarkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI