Ada satu sore yang selalu saya rindukan di Kelapa Nunggal, sebuah kecamatan kecil yang tenang di ujung Kabupaten Bogor. Saat matahari mulai condong ke barat, ketika warna jingga perlahan menutupi langit, warga keluar rumah dengan langkah ringan. Ada yang berjalan santai sambil menggandeng anaknya, ada pula yang menuntun sepeda menuju lapangan desa.
Di tempat inilah, kebahagiaan sederhana itu tumbuh---bukan dari kemewahan, melainkan dari momen kebersamaan yang sering kita lupakan.
Lapangan yang Menjadi Panggung Kehidupan
Lapangan desa di Kelapa Nunggal tidak luas, hanya sebidang tanah hijau dengan rerumputan yang mulai meninggi. Tapi setiap sore, lapangan itu berubah menjadi panggung kehidupan. Anak-anak berlarian, sebagian sibuk menaikkan layang-layang berwarna-warni. Ada yang berbentuk naga, ada yang sederhana dari kertas minyak.
Tangan-tangan kecil itu begitu cekatan mengulur benang, sorak gembira terdengar setiap kali layangan berhasil menembus angin dan melayang tinggi di angkasa. Bagi mereka, keberhasilan menaikkan layangan bukan sekadar permainan, tapi juga simbol kemenangan kecil yang membahagiakan.
Di pinggir lapangan, para orang tua duduk bersila di tikar seadanya. Sebagian bercengkerama, sebagian sibuk mengamati anak-anak mereka dengan tatapan penuh kasih. Di wajah-wajah itu, ada ketenangan yang sulit kita temukan di kota besar.
Jajanan Kaki Lima: Rasa yang Menyatukan
Tak jauh dari lapangan, barisan pedagang kaki lima mulai menggelar dagangannya. Aroma gorengan hangat menyeruak, bercampur dengan wangi kacang rebus, bakso tusuk, hingga es lilin berwarna mencolok yang diserbu anak-anak.
Momen membeli jajanan ini tampak sederhana, tapi sebenarnya menyimpan nilai kebersamaan. Satu gorengan yang dibagi berdua, es lilin yang dihisap bergantian oleh adik-kakak, atau sekadar bercanda dengan pedagang yang sudah mereka kenal sejak lama.
Di sini, makanan bukan sekadar pengisi perut. Ia menjadi pengikat cerita, perekat kebersamaan, dan penanda bahwa sore ini adalah milik mereka.