Penangkapan Immanuel Ebenezer oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan baru-baru ini menjadi sorotan publik. Isu ini menambah deretan panjang pejabat tinggi yang tersandung kasus korupsi di Indonesia. Banyak masyarakat bertanya, mengapa orang yang sudah berada di puncak jabatan dan kenyamanan materi masih tergoda melakukan korupsi? Artikel ini mengajak kita menelusuri akar masalahnya dari sudut psikologi sosial, budaya birokrasi, dan refleksi moral sebagai bangsa.
Kenapa Pejabat Tinggi Rawan Korupsi? Perspektif Psikologi
Power Corrupts: Ilusi Kekebalan dan Godaan Kekuasaan
Lord Acton pernah berkata, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Dalam psikologi, teori power paradox (Keltner, 2016) menyoroti bagaimana kekuasaan yang besar justru meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang. Pejabat tinggi, seperti Immanuel Ebenezer, sering merasa "di atas hukum" karena akses pada sumber daya dan jejaring. Ilusi kebal ini menumpulkan sensitivitas moral, membuat pelaku berpikir mereka tak akan tersentuh hukum.-
Moral Disengagement: Membenarkan Perilaku Menyimpang
Albert Bandura (1999) menguraikan bagaimana individu bisa "mematikan" suara hati dengan membenarkan perilaku korup sebagai sesuatu yang wajar atau "sudah budaya." Banyak pejabat merasa apa yang mereka lakukan hanyalah "mengikuti arus" atau "demi kebaikan keluarga." Dalam praktiknya, mereka kehilangan empati terhadap dampak kerugian bagi masyarakat luas. Norma Sosial dan Tekanan Lingkungan
Lingkungan birokrasi yang permisif terhadap korupsi, serta tekanan untuk "mengamankan posisi", membuat individu mudah terjebak pada perilaku menyimpang. Penelitian Cialdini (2001) menegaskan, manusia sangat mudah terpengaruh norma kelompok, bahkan jika norma itu salah. Sering kali, ketika pejabat baru masuk ke sistem yang sudah rusak, mereka justru menyesuaikan diri, bukan melawan.Greed dan Adaptasi Hedonistik
Setelah mencapai jabatan tinggi, kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Namun, efek hedonic adaptation membuat keinginan untuk mendapat lebih terus meningkat. Serakah dalam bentuk apapun menjadi racun yang menumpulkan nurani.
Kasus Immanuel Ebenezer: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kasus Immanuel Ebenezer menambah panjang daftar pejabat publik yang gagal menjaga integritas. Dalam berbagai pemberitaan, banyak pihak menyesalkan bagaimana pejabat yang semula dikenal vokal dan idealis akhirnya ikut terjerat godaan korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa siapapun, sekuat apapun prinsip awalnya, tetap berisiko terperangkap jika tidak ada pengawasan dan kontrol diri yang kuat.
Sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat, kita patut bertanya: sudahkah kita membangun budaya yang cukup kuat untuk menolak dan memerangi korupsi? Ataukah kita justru, sadar atau tidak, sering menormalisasi praktik-praktik kecil yang merusak integritas, seperti gratifikasi, suap, atau nepotisme dalam kehidupan sehari-hari?
Dampak Psikologis: Luka Batin Bangsa
Dampak korupsi bukan hanya pada kerugian negara, tapi juga pada psikologi masyarakat. Korupsi merusak kepercayaan publik, menimbulkan rasa apatis, dan mengikis optimisme generasi muda terhadap institusi negara. Bagi pelaku, tekanan batin, kecemasan, bahkan rasa malu pada keluarga seringkali baru terasa ketika kasus terungkap. Tak jarang, keluarga dan orang terdekat ikut menanggung beban sosial.
Refleksi Moral dan Opini Pribadi
Sebagai penulis dan bagian dari masyarakat, saya percaya bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari kesadaran diri, keluarga, dan lingkungan terdekat. Kita perlu menanamkan nilai kejujuran, rasa malu berbuat salah, dan keberanian berkata "tidak" pada setiap peluang korupsi, sekecil apapun itu. Integritas adalah benteng terakhir yang harus terus diperjuangkan, bahkan saat tidak ada yang melihat. Kita juga perlu mendukung setiap upaya KPK dan lembaga penegak hukum yang tegas terhadap koruptor, tanpa pandang bulu. Namun, penindakan hukum saja tidak cukup; budaya integritas harus ditanamkan sejak dini di keluarga, sekolah, dan ruang publik.
Kasus Immanuel Ebenezer mengingatkan kita bahwa jabatan tinggi tidak menjamin imun dari korupsi. Justru, kekuasaan adalah ujian sejati integritas seseorang. Dari sudut psikologi, korupsi lahir dari lemahnya kontrol diri, tekanan lingkungan, dan hilangnya nilai moral. Mari bersama membangun budaya kejujuran dan integritas, agar bangsa ini benar-benar bisa maju tanpa terbebani oleh praktik korupsi di segala lini.