Di era yang serba cepat ini, hampir setiap orang berlomba untuk menjadi versi terbaik dirinya. Kita dihadapkan pada tuntutan untuk terus tumbuh, berkembang, dan menunjukkan hasil. Media sosial menjadi panggung besar yang menampilkan kesuksesan orang lain, membuat kita tanpa sadar merasa tertinggal. Namun, di tengah hiruk pikuk pencapaian itu, ada satu hal yang perlahan hilang: ketenangan.
Kita terbiasa memaknai hidup sebagai perjalanan menuju puncak, padahal puncak tidak selalu berarti bahagia. Banyak orang yang akhirnya justru kehilangan kedamaian karena terlalu sibuk mengejar validasi dari luar. Kita lupa bahwa hebat tidak selalu berarti berhasil mengalahkan orang lain, tetapi juga mampu berdamai dengan diri sendiri.
Menjadi tenang di tengah dunia yang bising bukan hal mudah. Diperlukan keberanian untuk menolak ritme yang memaksa, serta kebijaksanaan untuk menerima bahwa tidak semua hal harus diselesaikan dengan tergesa. Ketika orang lain berlari, tidak apa-apa jika kita memilih berjalan. Hidup bukan kompetisi kecepatan, melainkan perjalanan memahami arah.
Nilai kebaruan yang sering terabaikan adalah pentingnya slow living di tengah budaya fast life. Perlahan bukan berarti lemah, dan diam bukan tanda kalah. Justru dalam jeda dan keheningan, kita bisa menemukan makna yang selama ini tertutup oleh ambisi. Tenang adalah kemewahan baru yang tidak bisa dibeli dengan apapun.
Kita tidak perlu selalu menjadi yang paling menonjol. Terkadang, cukup menjadi pribadi yang damai di tengah kekacauan sudah menjadi bentuk keberhasilan tersendiri. Sebab pada akhirnya, ketenangan adalah pencapaian paling indah yang hanya bisa diraih oleh mereka yang berhenti sejenak dan benar-benar mendengarkan hatinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI