Mohon tunggu...
Ahmad Luqman
Ahmad Luqman Mohon Tunggu... Administrasi - tinggal di Bandung

penikmat kompasiana... kecuali tulisan dagelan... (WA 0878-7690-9696)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuju Satu Data Kemiskinan

15 Agustus 2019   10:55 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:13 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bappeda.jabarprov.go.id

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach).  Pada pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan  dari aspek ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Penentuan penduduk miskin ini  diukur menurut garis kemiskinan (makanan & bukan makanan).

Dengan demikian, maka yang masuk kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Garis Kemikinan Hasil Susenas Maret 2019 tercatat Rp. 386.198,- per kapita per bulan.  Pada Garis Kemiskinan Maret 2019 ini, kontribusi komoditas makanan pada GK tercatat sebesar 72,94 persen, sisanya dari non makanan (27,06 persen).

Selanjutnya berdasarkan lokasinya, penduduk miskin di Jawa Barat secara jumlah lebih banyak terdapat di perkotaan.  Berdasarkan hasil Susenas Maret 2019, penduduk miskin di perkotaan mencapai  2,27 juta jiwa atau sekitar 67 persen.  Penduduk miskin di perkotaan ini mencapai dua kali lipat lebih dibanding di perdesaan yang tercatat sebanyak 1,13 juta jiwa.

Meskipun secara nominal jumalh penduduk miskin di perdesaan lebih kecil, secara persentase lebih tinggi. Penduduk miskin di perdesaan tercatat 9,79 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 6,03 persen.

Seperti tekah disampaikan pada uraiansebelumnya. data penduduk miskin  yang dihasilkan oleh BPS bersifat makro. Meskipun demikian, hal ini dapat dijadikan patokan atau acuan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial atau yang terkait untuk melakukan pendataan penduduk miskin melalui para petugas lapang.

Data yang dikumpulkan bisa ringkas sesuai kebutuhan sehingga dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dan cepat. Tentu saja konsep, definisi dan metodologinya terlebih dahulu dikonsultasikan dengan BPS sebagai pembina data statistik.

Perpres 39 Tahun 2019

Konsultasi dengan BPS dimaksudkan untuk menghindari duplikasi pendataan. Selain itu pula, diharapkan tidak terjadi perbedaan dalam penentuan siapa yang disebut penduduk miskin.

Selama ini perbedaan angka antara BPS dengan instansi lain disebabkan karena perbedaan konsep, definisi dan metodologi yang digunakan. Jika perbedaan ini tetap ada, maka perbedaan angka juga akan tetap terjadi.

Jadi solusinya sebenarnya sederhana saja yaitu perlunya kesamaan konsep, definisi dan metodologi dalam pendatataanya. Lantas kalo memang sederhana solusinya, kenapa masih saja banyak data yang berbeda ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun