Di sudut tribun VIP stadion Allianz Arena Munich semalam, sosok pria asal Qatar yang selalu kelimis itu mengenakan setelan jas berwarna gelap seperti biasa, rambut hitam tebal yang disisir rapih ke belakang dengan kesan wet look memberi aura ketenangan. Ini malam final kedua kali baginya.
Beberapa tahun lalu ia merasakan pahit getir sebuah perjuangan, di kota Lisbon Portugal tahun 2020 skuad PSG yang penuh bintang dipaksa menyerah oleh Bayern Munich 0-1, gelar impian yang sudah di depan mata lenyap seketika.
Belasan tahun mengelola klub asal kota Paris tak jua memberikan gelar Liga Champions Eropa yang jadi idaman, walau miliaran euro telah digelontorkan pria ini boleh jadi bahan olok-olok media dan pecinta bola eropa. Setelah sekian lama hanya berbuah gelar liga yang dihuni tim kelas dua.
Malam tadi di Allianz Arena, Nasser Al-Khelaifi pria itu memiliki nama, kembali hadir dengan mengajak 600-an official tim yang diundang gratis untuk merayakan sesuatu yang bisa jadi gagal.
Nasser yang pendiam tapi penuh ambisi seolah ingin membuktikan sesuatu, seperti syair-syair lagu Linkin Park yang mengisi nadi dan hatinya, selaras dengan gemuruh efek gitar hip metal dalam dadanya yang bidang.
"I tried so hard
 and got so far
 but in the end
 it doesnt even matter.."
"I had to fall
 to lose enough
 but in the end
 it doesn't even matter.."
Lirik lagu In The End boleh jadi tetap membayangi hidupnya beberapa tahun belakangan ini, teringat pengorbanan besarnya mendatangkan Mbappe, Neymar, hingga Lionel Messi, saga transfer yang boleh jadi menambah olok-olok terhadapnya.
Mega transfer belasan pemain yang hanya berujung "it doesnt even matter.."
Nasser boleh jadi seperti kebanyakan dari kita, orang-orang yang memiliki "mental driver" yang berani melihat peluang dengan risiko yang tak sedikit, orang-orang yang jauh dari tepuk tangan, tetap melangkah dalam sunyi dan tak pernah mau berhenti.