Anak SMA merupakan anak remaja yang menjembatani remaja tingkat awal ke akhir. Di usia transisi tersebut, anak remaja sedang menghabiskan masa-masa penasarannya di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah dengan atau tanpa pengawasan dari orang tua dan guru. Tidak sedikit dari anak-anak SMA menjadi terlalu dewasa dari usianya dan semakin liar akan dunia selepas SMA. Menurut Lickona (dalam Yoni Mashlihuddin, 2013) ada 10 indikasi gejala penurunan moral yang perlu mendapatkan perhatian agar berubah ke arah yang lebih baik; 1) Kekerasan dan tindakan anarki, 2) Pencurian, 3) Tindakan Curang, 4) Pengabaian terhadap aturan yang berlaku, 5) Tawuran antar siswa, 6) Ketidaktoleran, 7) Penggunaan bahasa yang tidak baik, 8) Kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, 9) Sikap perusakan diri, 10) Penyalahgunaan narkoba. Pengembangan moral yang buruk dan pembiaran, menjadikan anak-anak SMA keluar dari sekolah menjadi seseorang yang mengarah ke kriminal atau bahkan terbesit untuk melakukannya. Jika tidak dibarengi dengan implementasi dari nilai-nilai praksis pendidikan karakter, maka wabah degradasi moral akan semakin menyebar dan memburuk.
Di zaman sekarang, beberapa remaja saling menormalisasi mengenai perubahan sikap yang mengarah ke hal-hal buruk. Banyak kasus telah terjadi di beberapa SMA yang kemudian menjadi ramai diperbincangkan, seperti perundungan pada siswa atau guru dan hamil di luar nikah. Peran media sosial semakin mempercepat proses penyebaran berita yang bercitra buruk. Secara tidak langsung, penyebaran berita amatir tersebut membuat orang lain beropini bahwa tindakan tersebut merupakan hal yang biasa dan terjadi pembiaran dari pihak terkait.
Anak SMA berada di masa yang masih mengambang dengan penuh harapan dan tanya. Sehingga, memiliki rasa ingin tahu yang besar mengenai dunia di luar lingkungan sekolah. Tidak jarang anak SMA mencoba rasa penasarannya mengenai dunia luar tanpa pengawasan dari orang tua atau guru. Langkah penasaran tersebut dapat menuntun anak menuju jalan yang salah dan melakukan kegiatan yang bersifat bebas sekaligus candu.
Dorongan hidup bebas tanpa terikat aturan merupakan fakta dari dampak westernisasi yang sedang melanda anak SMA. Dapat dirasakan perkembangannya mulai dari cara berpenampilan hingga berbicara dengan orang yang lebih tua. Sumber lain yang membuat anak SMA semakin merasa bebas adalah regulasi pemerintah yang seolah memanjakan siswa dengan memoles nilai siswa yang tidak sesuai dengan acuan yang berlaku. Hal tersebut secara tidak langsung memengaruhi pola pikir siswa untuk tidak terlalu berusaha dalam menggapai suatu standar.
Pendidikan karakter merupakan penolong dari jurang degradasi moral. Namun, perlu dukungan moral dan aksi yang kuat untuk membangun kembali pondasi pendidikan karakter yang hampir roboh di pasca pandemi. Bak di berbeda abad, pandemi sungguh membuat suatu perubahan karakter anak SMA dalam hitungan beberapa tahun. Pendidikan karakter melemah dan menjadi semakin tidak intensif diajarkan, karena bukan menjadi prioritas pengembalian sistem pendidikan sebelum pandemi.
Terlepas dari pendidikan karakter yang melemah, tidak semua anak-anak SMA mengeksekusi dengan baik nilai-nilai praksis dari pendidikan karakter. Bagai air ditarik sungsang, pendidikan karakter di mata anak-anak SMA adalah hal yang remeh namun sulit diterapkan dengan baik. Mengingat faktor lain yang menyertai, seperti merasa semakin dewasa dan semakin bebas tanpa terikat norma-norma yang biasanya diterapkan pada anak SD atau SMP. Gagalnya implementasi pendidikan karakter memperburuk pendidikan karakter yang telah melemah.
Dibutuhkan sinergi yang kuat dan saling terjalin antara pihak guru dengan siswa secara berkesinambungan untuk membangun pendidikan karakter yang hampir roboh. Para guru harus mempertegas dan mengingatkan kepada siswanya untuk disiplin dan patuh terhadap peraturan yang bersangkutan dengan nilai-nilai instrumental pendidikan karakter dan tidak menormalisasi suatu penyimpangan kecil yang terjadi pada siswa SMA. Begitu pula para siswa harus berkontribusi untuk menegakkan pendidikan karakter yang sempat mati suri. Karena pada dasarnya, pelaksana utama dari pendidikan karakter adalah para siswa yang aktif dan peduli terhadap pelestarian etika di tengah perubahan zaman menuju era kemudahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI