Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Alun-alun Kian Santang Purwakarta

14 Mei 2019   09:00 Diperbarui: 30 Oktober 2022   17:26 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

240px-collectie-tropenmuseum-alun-alun-met-moskee-poerwakarta-tmnr-60016142-5cda255695760e4e4530ade2.jpg
240px-collectie-tropenmuseum-alun-alun-met-moskee-poerwakarta-tmnr-60016142-5cda255695760e4e4530ade2.jpg
"... Dulu ada alun-alun bersih-bersih
dengan dua beringin kurung yang akar-akarnya terjela-jela.
Dulu di selatan ada kabupaten,
ditandai oleh sebuah bangunan kolonial
dengan pendopo yang mengahadang angin.
Ada halaman luas, berpohon buah.
Ada warna hijau tua yang meredam bisingnya jalan
dan berisiknya anak-anak.
Ada pokok asam, berseberangan, disela-sela oleh kenari.
Kini, apa yang tinggal?
Rumah bupati dan sekitarnya telah berubah ..."
(Goenawan Susatyo Mohamad [1941-....], Catatan Pinggir 1 :
'Kota-kota Berulangtahun', pp.136-137, Tempo, 27 Juni 1981)

Alun-alun berasal dari kata dasar alun dan menjadi kata ulang alun-alun. Apa yang dimaksud dengan alun-alun ? Alun-alun artinya adalah sebuah tanah lapang yang sangat luas tempat orang berkumpul untuk mengadakan suatu acara kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan termasuk keraton suatu kerajaan atau kesultanan. Konsep alun-alun ini diyakini sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan dahulu di Nusantara, khususnya di pulau Jawa atau lebih tepatnya konsep ini lebih diperkenalkan oleh kerajaan Majapahit pada abad ke-13 sampai dengan ke-15. Lalu mengapa disebut dengan alun-alun ?

Menurut Harry Haryoto Kunto, pemberian istilah ini, kemungkinan besar terjadi sejak jaman kesultanan Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645 M) dan juga para penerus penggantinya dari Amangkurat I, II, III dan IV dan seterusnya  hingga pada akhirnya kesultanan Mataram terpecah -- terbagi menjadi 2 (dua), yaitu menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bahkan kemudian kedua kerajaan ini pun pecah terbagi lagi menjadi 4 (empat), yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran dan berikutnya yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.

Menurut R.M.A. Ahmad Said Widodo, pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dan II di lapangan yang luas yang disebut alun-alun ini sering diadakan berbagai macam kegiatan termasuk yang dianggap biadab, misalnya adu atau pertarungan antara manusia dengan harimau atau singa. Dimana seekor singa buas yang dibiarkan kelaparan berhari-hari dilepaskan dari kerangkeng atau kurungannya untuk ditempatkan dan dilepaskan di tengah-tengah alun-alun yang dikelilingi ratusan atau bahkan ribuan manusia, adegan demi adegan terjadi, bisa saja dia menerkam, menerjang dan menyerang siapapun orang-orang yang berada di sekitarnya atau bahkan dia bisa saja mati karena dibunuh oleh orang-orang itu dengan berbagai macam senjata. Nah, adegan orang-orang yang lari lintang pukang inilah atau bahkan bersorak-sorai ke kanan ke kiri dari utara ke selatan atau dari barat ke timur inilah yang nampak seperti alunan ombak atau gelombang di lautan. Maka dari itulah lapangan luas ini kemudian dikenal sebagai alun-alun.

Konsep ini kemudian menjadi suatu konsep yang baku dan menjadi semacam keharusan untuk mendirikan sebuah lokasi pusat pemerintahan, yaitu di sekitar alun-alun selalu dikelilingi oleh keraton, gedung kabupaten atau pendopo kabupaten di sebelah selatan, masjid Agung di sebelah barat, rumah penjara di sebelah utara, dan di sebelah timur kalau tidak markas atau tangsi tentara, mungkin kantor-kantor pemerintahan atau lain-lainnya lagi.
Misalnya seperti keraton kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengarah Utara ke Selatan, dimana di sebelah utara ada gunung Merapi dan di sebelah selatan ada Laut Selatan atau Laut Kidul.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : di sebelah utara yang ada gunung Merapi-nya, diidentikkan dengan bentuk segitiga, dimana titik puncaknya dianggap merupakan titik pertemuan antara alam nyata dengan alam mayapada yang berarti seorang raja, sultan atau sunan adalah merupakan wakil, perantara atau khalifah Allah  (atau jika jaman dahulu kala adalah dewa-dewi atau betara-betari) antara rakyatnya dengan alam para malaikat sekaligus sebagai manunggaling kawula gusti atau bersatunya antara manusia dengan tuhannya. Hal ini merupakan matra udara atau angkasa.

Sedangkan di sebelah selatan yang ada Laut Kidul-nya diidentikkan dengan pertemuan antara alam nyata dengan alam ghaib atau alam para jin, dimana di sana ada seorang penguasa yang dikenal sebagai Kanjeng Ratu Kidul yang merupakan seorang isteri (ghaib) dari semua raja-raja Mataram yang berarti bahwa seorang raja Mataram juga menguasai alaming lelembut atau alamnya mahluk halus. Hal ini merupakan matra laut atau samudera.

Sementara itu wilayah kerajaan atau kasultanan di sekitarnya, baik tanah daratan, kampung, desa, kota, sawah ladang, kolam, sungai, danau, lembah, bukit, gunung dan hutan beserta rakyat di dalamnya adalah merupakan daerah kekuasaan raja atau sultan tanpa reserve. Hal ini merupakan matra darat atau bumi.

Konsep ini hampir merata di seluruh pulau Jawa, khususnya di wilayah propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Bagaimana dengan di Jawa Barat ? Konsep atau kosmologi ini nampaknya juga dianut oleh kabupaten Bandung dan Sumedang dan beberapa kabupaten lainnya. Bagaimana dengan kabupaten Purwakarta ? Agaknya untuk kabupaten Purwakarta hal ini merupakan suatu kekecualian, karena di sebelah utara tidak ada gunungnya. Bahkan kawasan Situ Buleud yang semula sebagai pusat atau tengah-tengahnya kota pun pada akhirnya seperti keadaannya sekarang, karena lokasi pusat pemerintahan atau puser dayeuh malah berada di sebelah baratnya dengan jarak beberapa puluh meter darinya. Terkecuali beberapa bangunan warisan pemerintahan kolonial Hindia Belanda, seperti bangunan gedung Karesidenan (Resident Woning) dan Kantor Gede (Groot Kantoor) juga Kantor Pengairan (Irrigatie Kantoor) yang sekarang kita kenal dengan Kantor Benglap atau Bengharpal demikian pula dengan keberadaan kantor-kantor lain atau pun blok hunian lainnya.

Adapun peranan Adipati atau Bupati, harus dilihat dari konteksnya, yaitu, bahwa Adipati berasal dari kata Adi yang berarti Adik dan Pati yang berarti Penguasa (Raja), jadi Adipati berarti Adik Penguasa atau Adik-nya Raja karena Adipati memang adalah raja kecil di daerahnya. Sedangkan Bupati berasal dari kata Bhu yang berarti Bhumi/Bumi dan Pati yang berarti Penguasa (Raja), jadi Bupati berarti Penguasa Bumi atau Raja Bumi karena Bupati memang adalah seorang penguasa bumi atau raja dari bumi di sekitarnya. Kembali kepada soal alun-alun tadi. Kepindahan ibukota kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian jadi Purwakarta telah menjadikan Purwakarta sebagai kota tempat kediaman (woonstaad) yang kemudian juga ditandai dengan diadakannya pembangunan sarana dan prasarana (fasilitas umum dan fasilitas sosial) kota Purwakarta, dimulai dari masa pemerintahan Bupati Raden Adipati Aria (R.A.A.) Soeriawinata atau yang lebih dikenal sebagai Dalem Shalawat (1829-1849 M), menyadari, bahwa konsep-konsep pendirian sebuah lokasi pusat pemerintahan kabupaten yang baru, yang mau tidak mau harus seperti itu, maka atas prakarsa dari Bupati Karawang di Purwakarta waktu itu R.A.A. Soeriawinata dibuatlah alun-alun sebagaimana konsep yang seharusnya. Dibantu oleh tokoh Purbasari (yang masih sangat misterius) dan Raden Rangga (R.Rg.) Natayuda (yang pernah menjadi Cutak Sindangkasih), maka selesai dibuatlah sudah sebuah alun-alun yang kelak di kemudian hari kita kenal sebagai Alun-alun Kiansantang Purwakarta.

Pada tahun 1854 M bupati Karawang di Purwakarta Raden Tumenggung (R.T.) Sastranagara (1849-1854 M) meninggal. Pada tanggal 27 Oktober 1854 M Patih-nya yang bernama Raden Aria (R.A.) Soemadipoera jadi bupati, yang kemudian kita kenal sebagai R.A.A. Sastraadhiningrat I (Dalem Sepuh) (1854-1863 M). Pada bulan Desember 1854 M, pesta besar-besaran rakyat datang dari seluruh penjuru mengadu harimau dengan kerbau ramai bukan alang kepalang. Pada masa pemerintahannya pembangunan jalan-jalan di dalam kota mendapat perhatian dan mulai dilaksanakan, sedangkan dalam rangka usaha memperindah kota, situ yang letaknya di tengah-tengah kota yang kini disebut Situ Buleud kemudian diperbaiki dan diperluas dengan ditanami pohon-pohon asam (Tamarindus indica Linn.) atas jerih payah seseorang yang bernama Singakiria (Singakarta?) dari Galuh (Ciamis) di sekelilingnya, begitu juga di sepanjang pinggir jalan-jalan dalam kota. Pohon-pohon asam ini kini jumlahnya dapat dengan mudah dihitung karena sebagian besar telah ditebang dan diganti dengan pohon-pohon lain, seperti pohon mahoni/mahagoni. Demikian pula halnya dengan Alun-alun Kabupaten, diperluas dan diperbaiki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun