Pendapat yang pertama mengatakan, bahwa Sangkuriang itu berasal dari perkataan "Sangkriang", yang berarti : Sang = suatu penghormatan; kriya = kerja dan hyang = dewa, dewi. Sangkriang, artinya suatu pekerjaan dewa-dewi.
Pendapat yang lain mengatakan, bahwa Sangkuriang itu berasal dari perkataan "Sangguriang", yang berarti : Sang = suatu penghormatan; guru = guru dan hyang = dewa-dewi. Sangguriang artinya gurunya dewa-dewi (Batara Guru[?]).
Menurut ceritera dongeng rakyat Sangkuriang itu adalah demikian :
Pada jaman dahulu kala di sebelah barat Jatiluhur ada sebuah negara yang bernama kerajaan Kutatandingan (Kuta dalam bahasa Sunda berarti benteng pertahanan), dengan rajanya bernama Prabu Tandinganjaya, sedang patihnya bernama Pranggongjaya. Ada pun panglimanya (dalam bahasa Sunda : Panatayuda) ialah Purbakuta dan pendeta kerajaan bernama Permana Rasa.
Keadaan di dalam negara itu aman dan tenteram, rakyat hidup sejahtera. Namun di dunia ini tidak ada sesuatu hal yang kekal. Demikianlah pada suatu saat negara itu mengalami bermacam-macam kesulitan dan bencana alam, disebabkan oleh merajalelanya hama yang merusak tanaman penduduk. Berhubung dengan itu, maka raja memanggil bersidang para pembesar negara untuk membahas keadaan itu.
Dalam musyawarah tersebut seorang punakawan (semacam ajudan), yaitu Lengser mengemukakan, bahwa yang menyebabkan segala malapetaka itu adalah seekor banteng muda, namanya "Banteng Andaga" dan binatang itu ada di dalam hutan.
Maka diputuskanlah oleh sidang musyawarah para pembesar negara itu untuk membunuh Banteng Andaga. Namun meski pun demikian oleh Lengser dan para pembesar negara, dimohon kepada raja agar Baginda tidak ikut serta dalam berburu banteng itu, karena dikhawatirkan bisa terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Raja menerima baik larangan para sesepuh negara itu dan bermaksud akan melihat dari kejauhan saja.
Sesampainya di hutan, semua anggota rombongan telah siap dengan senjatanya masing-masing, seperti : tombak, panah, pedang dan sebagainya dan segera disebar ke seluruh hutan untuk mencari Banteng Andaga. Benarlah seperti dikemukakan oleh Lengser, bahwa di dalam hutan itu ada seekor banteng muda. Kemudian diadakanlah pengepungan yang rapat terhadap binatang tersebut supaya dapat dibunuh. Demikianlah segala macam senjata telah dilepaskan ke arah Banteng Andaga, namun binatang itu tidak mati, bahkan berlagak seperti mengejek.
Menyaksikan keadaan yang demikian itu, raja tidak sabar lagi dan segera bangkit akan bertindak. Banteng Andaga semakin mengamuk dan bersamaan dengan itu terdengar suara wanita menjerit karena akan diterjang binatang tersebut. Raja terkejut dan cepat-cepat akan memberikan pertolongan kepada wanita itu, tetapi di dalam hatinya masih diliputi keragu-raguan menghadapi salah satu di antara dua pilihan, yaitu :
1.Membunuh Banteng Andaga, berarti melanggar larangan para pembesar negara;