Dua tantangan utama penggunaan gawai pasif dan menjauhnya anak dari budaya perlu dijawab dengan inovasi pembelajaran. Pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI) menjadi solusi relevan. Aplikasi seperti ChatGPT dapat membantu guru merancang ide cerita dan kegiatan, Craiyon AI menghasilkan ilustrasi, dan Pixverse mengubah gambar menjadi animasi. Dengan begitu, gawai menjadi sarana eksplorasi, kreasi, dan ekspresi, bukan sekadar hiburan pasif. Pendekatan ini selaras dengan konsep Pembelajaran Mendalam melalui tahapan memahami, bereksplorasi, mengaplikasi, dan merefleksi. Mindful learning tercermin ketika anak sadar menggunakan gawai secara positif; meaningful learning hadir saat mereka mengenal nilai budaya Reog; joyful learning muncul ketika anak menikmati proses mencipta dan menampilkan karya. Oleh karena itu, inovasi pembelajaran berbasis AI yang dipadukan dengan budaya Reog Ponorogo penting dikembangkan. Upaya ini dapat menjadi solusi keresahan orang tua sekaligus sarana pelestarian budaya. Anak mendapatkan pengalaman belajar menyenangkan, relevan dengan perkembangan zaman, dan menumbuhkan cinta budaya lokal. Pada saat yang sama, guru terdorong meningkatkan literasi digital serta membagikan praktik baik kepada sejawat agar dampaknya meluas.
TANTANGAN
Berdasarkan situasi sebelumnya, terdapat sejumlah tantangan mendasar dalam pembelajaran anak usia dini di era digital. Tantangan ini muncul dari sisi anak, guru, orang tua, serta derasnya pengaruh globalisasi. Jika tidak segera diatasi, dampaknya serius terhadap perkembangan anak dan keberlangsungan pendidikan berbasis budaya lokal. Tantangan utama adalah penggunaan gawai. Anak usia 3--4 tahun terbiasa memakai telepon pintar, tetapi lebih sering menonton YouTube, TikTok, atau bermain gim dibanding melakukan aktivitas motorik dan interaksi sosial. Hal ini menimbulkan risiko ketergantungan, hambatan perkembangan bahasa, motorik, serta keterampilan sosial. Padahal, menurut Piaget (1969), perkembangan kognitif anak terjadi melalui interaksi aktif dengan lingkungan, bukan aktivitas pasif. Jika dibiarkan, anak kehilangan kesempatan emas untuk belajar secara kreatif dan eksploratif.
Tantangan berikutnya adalah peran guru. Guru PAUD dituntut menjadi fasilitator dan inovator, namun masih banyak yang memiliki keterbatasan literasi digital. Integrasi budaya lokal dalam pembelajaran berbasis teknologi juga belum maksimal, meskipun Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran kontekstual. Kreativitas guru dalam merancang pengalaman belajar inovatif menjadi kunci keberhasilan. Pengenalan budaya lokal juga semakin terpinggirkan. Reog Ponorogo yang kaya nilai keberanian, kebersamaan, dan kreativitas jarang dikenalkan kepada anak. Mereka lebih mengenal tokoh animasi asing daripada tokoh budaya lokal. Orang tua pun sering tidak sempat atau kurang memahami cara mengenalkan budaya kepada anak. Akibatnya, pembelajaran di PAUD lebih berfokus pada tema umum tanpa konsistensi menghadirkan kearifan lokal, padahal pendidikan berbasis budaya lebih mudah diterima anak (Kemendikbudristek, 2020).
Tantangan lain datang dari peran orang tua. Pendampingan penggunaan gawai masih minim karena kesibukan dan keterbatasan pengetahuan. Anak sering dibiarkan menggunakan gawai tanpa arahan, sehingga risiko kecanduan meningkat dan interaksi keluarga menurun. Tanpa sinergi antara guru dan orang tua, inovasi pembelajaran di sekolah sulit berlanjut di rumah. Selain itu, globalisasi dan perkembangan teknologi yang cepat membuat budaya lokal semakin tersisih. Anak lebih banyak terpapar budaya populer global, sementara guru dituntut terus beradaptasi dengan teknologi agar pembelajaran tetap relevan. Tidak semua sumber belajar digital sesuai untuk anak usia dini, sehingga guru harus selektif memilihnya.
Jika tantangan-tantangan ini diabaikan, anak berisiko pasif, kecanduan gawai, dan terhambat perkembangan sosial-emosionalnya. Guru kesulitan menghadirkan pembelajaran inovatif, kualitas PAUD menurun, budaya lokal makin terpinggirkan, dan hubungan sekolah-orang tua melemah. Karena itu, tantangan utama yang harus dijawab adalah bagaimana mengarahkan penggunaan gawai menjadi sarana belajar aktif, kreatif, dan edukatif, memperkuat peran guru sebagai inovator, serta memastikan budaya lokal tetap hadir dalam pembelajaran anak usia dini. Tantangan inilah yang mendorong perlunya inovasi berbasis kecerdasan artifisial yang dipadukan dengan budaya Reog Ponorogo. Dengan inovasi tersebut, anak dapat menggunakan gawai secara bijak, mencintai budaya sendiri, dan didukung guru & orang tua dalam proses belajar yang relevan dengan tuntutan zaman.
AKSI
1. Perencanaan Aksi
Perencanaan menjadi tahap awal penting dalam inovasi pembelajaran. Fokusnya tidak hanya pada penyusunan kegiatan, tetapi juga kebutuhan anak usia dini, keresahan orang tua, serta peluang pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI) yang dipadukan dengan budaya Reog Ponorogo. Langkah pertama adalah analisis kebutuhan anak usia 3-4 tahun yang aktif, ingin tahu, tetapi masih terbatas konsentrasi dan literasi digital. Pada tahap praoperasional (Piaget, 1969), anak berpikir simbolik dan membutuhkan pengalaman konkret. Karena itu, perencanaan diarahkan pada kegiatan eksploratif, kreatif, dan berbasis pengalaman nyata.
Guru juga menanggapi fenomena anak yang menggunakan gawai secara pasif dengan merancang strategi agar gawai menjadi sarana belajar aktif dan menyenangkan. Reog Ponorogo dipilih sebagai unsur budaya karena sarat nilai keberanian, kebersamaan, dan kreativitas. Anak diajak membuat miniatur Reog dari bahan alam, mengenal gerak dasar, serta mengeksplorasi representasi digital melalui aplikasi AI. Prinsip Mindful, Meaningful, dan Joyful Learning menjadi fondasi. Mindful diwujudkan melalui kegiatan yang melatih fokus, seperti memperhatikan tekstur bahan alam. Meaningful hadir saat anak mengaitkan aktivitas dengan budaya lokal yang dekat dengan kehidupannya (Bruner, 1977; Ausubel, 1968). Joyful tercermin lewat suasana bermain, kreasi bebas, dan eksplorasi AI yang memunculkan rasa takjub.
Guru menyiapkan media berupa bahan alam, laptop/tablet, serta aplikasi Craiyon AI dan Pixverse. Orang tua dilibatkan melalui komunikasi intensif agar mendukung anak di rumah, misalnya mendokumentasikan karya atau mencoba AI bersama. Indikator keberhasilan meliputi kemampuan anak membuat miniatur Reog, antusias menggunakan AI, menceritakan pengalaman sederhana, serta menumbuhkan kebanggaan terhadap budaya. Penilaian dilakukan secara autentik melalui observasi, catatan anekdot, foto, dan dokumentasi karya. Perencanaan juga bersifat berkelanjutan. Setelah mengenal Reog, anak dapat mengeksplorasi budaya lokal lain atau menggunakan AI untuk tema Nusantara lainnya. Dengan peta jalan ini, guru berperan sebagai inovator kreatif dan adaptif tanpa kehilangan akar budaya.