Di tengah ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, iPhone telah menjelma menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi, ia adalah simbol status sosial dan identitas kelas baru.Â
Khususnya di Indonesia, memiliki iPhone tidak hanya menunjukkan preferensi teknologi, tetapi juga memancarkan pesan kesuksesan dan kemapanan yang dikemas secara halus melalui layar sentuh dan logo apel tergigit.
Simbol Status dan Identitas Sosial
Teori sinyal sosial menjelaskan bahwa iPhone menjadi alat untuk "menyampaikan pesan" kepada lingkungan sosial. Kepemilikannya menunjukkan seseorang telah mencapai titik kemapanan tertentu.Â
Dalam komunitas tertentu, terutama di kalangan muda, iPhone bisa menciptakan hierarki tak tertulis. Seseorang yang menggunakan iPhone dianggap lebih "terlihat" dibandingkan pengguna Android.
Apple pun memperkuat hierarki ini melalui fitur eksklusif seperti iMessage. Pesan berwarna biru antar pengguna iPhone dianggap lebih "elit", sementara pesan hijau dari Android kerap menjadi bahan olok-olokan digital, sebuah bentuk stigma yang diam-diam ditanamkan.
Budaya Pamer dan FOMO
Budaya pamer di media sosial semakin memperkuat daya tarik iPhone. Unboxing video, unggahan story dengan watermark "Shot on iPhone", hingga tren-tren digital lainnya mendorong generasi muda untuk ikut-ikutan, bahkan jika harus memaksakan diri secara finansial.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi nyata. Banyak orang merasa harus punya iPhone agar tetap dianggap "relevan" di lingkungan sosial dan digital. Pengakuan dari teman sebaya, influencer, bahkan keluarga, menjadi motivasi utama, menggeser rasionalitas dalam berbelanja.
Strategi Cerdas Apple