Apple tidak pernah bersaing dalam ranah harga. Sebaliknya, ia membangun citra eksklusif, unik, dan inovatif. Dengan slogan seperti "Think Different", Apple merangkul identitas penggunanya sebagai individu berkelas dan berbeda.Â
Ekosistem produk yang saling terintegrasi juga menjadi senjata jitu. Seseorang yang memiliki iPhone cenderung membeli AirPods, AcBook, Apple Watch, dan sebagainya. Peluncuran produk baru selalu ditunggu, bukan sekadar sebagai momen belanja, tapi juga ajang status dan gengsi.
Kemudahan Akses, Tapi...
Dengan kemudahan cicilan dan kredit, iPhone menjadi semakin terjangkau secara nominal. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa bunga tinggi dan ketidakmampuan mengelola keuangan bisa membuatnya menjadi jebakan finansial jangka panjang.
Tidak sedikit orang rela menomorduakan kebutuhan primer demi iPhone. Fenomena ini diperparah oleh rendahnya literasi keuangan dan ketidakmampuan membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Persepsi Nilai dan Kualitas
Banyak yang beranggapan iPhone lebih tahan lama dan menjadi investasi jangka panjang. Dukungan sistem operasi yang stabil dan pembaruan berkala memperkuat persepsi bahwa produk Apple lebih andal dan "worth it".
Namun, persepsi ini sering kali menjadi pembenaran untuk konsumsi impulsif, apalagi jika dibarengi ketidaksiapan finansial.
Kesimpulan
Obsesi terhadap iPhone di kalangan masyarakat kurang mampu mencerminkan fenomena sosial yang kompleks. Ini bukan semata soal teknologi, tetapi menyangkut identitas, tekanan sosial, strategi branding yang kuat, dan minimnya kesadaran finansial.Â
Dalanm dunia yang semakin digital dan visual, iPhone telah menjadi tiket sosial untuk diterima, dihargai, dan diakui, meskipun harganya adalah stabilitas ekonomi pribadi yang dikorbanakan.