Berbagai perbedaan pendapat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat mestinya dipandang sebagai bagian dari dinamika berbangsa dan bernegara untuk mendapai kematangan. Perbedaan pendapat mestinya dipandang sebagai kekayaan intektual, bukan dituduh sebagai makar dan karenanya layak dihukum dan dibubarkan. Mestinya pemerintah tidak menjadikan Pancasila sebagai alat gebuk bagi rakyat yang mengkritisinya.
Argumentasi yang berkembang dari rakyat seharusnya didiskusikan dengan argumen yang sehat. Sebab selama argumen itu bertujuan untuk memperbaiki bangsa dan negara ini, maka tidak ada yang mustahil untuk bisa diterapkan. Pemerintah tidak selayaknya mencurigai agama-agama, sebab manusia Pancasila adalah manusia beragama.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mestinya selalu menjadi visi utama setiap rezim berkuasa. Bangsa Indonesia adalah bangsa religius yang selalu menjadikan keyakinan agama sebagai visi hidup dan matinya. Oleh karenanya, nilai-nilai agama mestinya menjadi spirit bagi ketatalaksanaan negara ini.
Adalah paradoks jika mengaku sebagai negara Pancasila disatu sisi, namun mengabaikan hukum agama disisi lain. Adalah paradoks mewujudkan sila kelima jika yang diterapkan justru sistem ekonomi kapitalisme yang materialistik. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang tidak berorientasi kepada keadilan sosial, tapi berorientasi kepada materialisme.
Islam adalah agama sempurna yang mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan bagi kehidupan manusia seluruhnya. Beberapa kata dalam Pancasila seperti adil, beradab, musyawarah, rakyat, perwakilan dan hikmah justru berasal dari terminologi Islam. Keadilan dalam Islam adalah bersifat universal, karenanya bukan hanya manusia Pancasila yang akan merasakan rahmat, namun seluruh manusia dan alam semesta.
Ketaatan kepada hukum dan aturan agama justru akan mendatangkan keberkahan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Sementara mengingkarinya justru akan mendatangkan kesempitan hidup bagi rakyat semuanya. Manusia Pancasila adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Pencipta manusia dan alam semesta.
Yang sering jadi persoalan adalah upaya reduksi makna setiap sila dari Pancasila oleh rezim berkuasa. Meski secara esensial, nilai-nilai Pancasila itu sifatnya universal, namun oleh tiap rezim berkuasa justru Pancasila seringkali dipolitsir dna bahkan menjadi alat untuk menjegal masuknya agama dalam ranah negara.
Secara epistemologi, nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, keadaban dan hikmah dalam pandangan Pancasila tidak ditemukan kejelasannya. Bahkan setiap rezim menafsirkan sesuai dengan kepentingan dan ideologinya masing-masing. Namun, ironis, ujungnya rakyat tetap sengsara dari rezim ke rezim.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim, mejadi manusia muslim telah cukup, tidak perlu lagi menjadi manusia Pancasila. Sebab Islam adalah ajaran sempurna, maka muslim adalah manusia yang sempurna. Sebagai contoh adalah Rasulullah, manusia sempurna karena ketundukan kepada hukum dan syariat Allah.
Menjadi manusia muslim tidak akan melanggar Pancasila, namun menjadi manusia Pancasila bisa saja melanggar Islam. Menjadi manusia muslim adalah beyond Pancasila atau lebih dari seorang pancasilais, meski tidak mesti harus mengucapkan saya Pancasila. Sebab Al Qur'an tidak memerintahkan untuk menjadi manusia Pancasila, namun menjadi manusia muslim sehidup semati.
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran". (QS Al 'Ashr : 1-3)