Pernah nggak kamu duduk di kasur jam satu pagi, sendirian, ditemani cahaya laptop yang udah mulai redup dan playlist mellow yang pelan-pelan bikin hati makin tenang atau justru makin mellow juga. Lalu tiba-tiba, muncul satu pikiran yang rasanya random tapi familiar banget: “Kayaknya enak deh kalau makan mi sekarang.”
Bukan karena lapar. Tapi ada semacam ruang kosong yang butuh diisi. Bukan di perut, tapi di hati. Dan anehnya, kamu tahu jawabannya: semangkuk mi instan. Kamu pun bangkit pelan-pelan, buka pintu kamar, jalan ke dapur yang dingin dan hening. Ritualnya sudah kamu hapal luar kepala: rebus air, sobek bungkus mi, tuang bumbu ke mangkuk, dan lima menit kemudian… selesai. Mie-nya masih mengepul, harum, dan tiba-tiba dunia nggak terasa segenting tadi.
Di situ, kamu duduk. Sendok pertama masuk ke mulut, kuah hangatnya langsung turun ke perut dan pelan-pelan bikin badan lebih rileks. Rasanya? Familiar. Aman. Seperti pelukan ibu di malam hari.
Mi instan tengah malam bukan cuma tentang makanan cepat saji. Kadang, ia jadi alasan buat berhenti sejenak dari overthinking, dari rasa lelah yang nggak bisa kamu ceritakan ke siapa-siapa. Kadang, ia jadi momen kamu berdamai sama diri sendiri. Satu-satunya yang kamu pilih hari itu. Satu-satunya hal yang terasa pasti.
Dan lucunya, kamu nggak sendiri. Banyak orang juga melakukan hal yang sama. Mi instan jadi semacam bahasa universal: untuk hati yang bingung, untuk kepala yang berat, atau untuk hari-hari yang rasanya kosong. Mie bukan solusi, tapi teman. Teman yang diam, tapi ngerti.
Kalau kamu pernah ngerasain ini, kamu tahu rasanya. Kamu tahu, kadang yang kita cari bukan kenyang tapi tenang.
Simbol Nyaman yang Instan
Ada alasan kenapa mi instan sering disebut sebagai comfort food. Ia bukan makanan mewah, bukan juga yang disiapkan dengan resep rumit atau bahan eksklusif. Tapi justru karena kesederhanaannya, ia terasa dekat. Mi instan adalah makanan yang bisa diandalkan kapan pun kamu butuh sesuatu yang cepat, hangat, dan bisa bikin hati sedikit lebih damai. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, penuh tekanan, dan kadang terasa nggak masuk akal, semangkuk mi bisa jadi satu-satunya hal yang terasa terkendali.
Untuk banyak orang, terutama Gen Z dan milenial, mi instan bukan cuma soal selera. Ia adalah memori. Pengingat akan masa-masa begadang saat ngerjain skripsi, malam-malam panjang nonton anime atau drakor, ataupun momen sendirian di kos tapi tetap merasa ‘oke’ karena ditemani rasa asin dan gurih yang familiar. Nggak ada yang terlalu repot. Hanya air panas, lima menit menunggu, dan kamu sudah punya sesuatu yang terasa “rumah”.
Menurut Susan Albers, psikolog klinis dan penulis Eating Mindfully, makanan yang tinggi karbohidrat dan garam seperti mi instan memang punya efek fisiologis. Kandungan ini mendorong pelepasan serotonin, neurotransmitter yang memicu rasa tenang dan nyaman. Artinya, kita nggak cuma ‘merasa’ enak karena rasa gurihnya, tapi tubuh kita secara biologis memang merespons makanan ini dengan sinyal positif.