Pesan bernas itu masih terngiang di kepalaku, "Le, jangan tidur sehabis Subuh. Bacalah Quran, nak. Sebisamu, berapa pun semampumu. Jika satu juz kau tak mampu tak apalah, satu dua ain juga boleh. Tunggulah sampai syuruk datang, saat matahari mulai terbit. Sambunglah dengan Dhuha. Moga keberkahan kamu temui."
Sebagai bungsu, aku biasa dipanggil Tole, panggilan karib ibu dan juga kakak-kakaku kepadaku. Nama panggilan itu, seperti halnya orang-orang Jawa lain di kampungku, yang jamak disematkan kepada anak lelakinya.
Seingatku, di kampung ada sepuluhan anak atau mungkin belasan anak punya panggilan karibnya sama denganku. Semasa bocah, ketika digelar turnamen sepak bola mini, pakai bola plastik, aku kerap dibuat bingung karena saat ada yang memanggil nama tersebut yang menoleh bukan cuma aku.
Hampir saban hari Ibu selalu bangun lebih awal, bangun sebelum kumandang adzan Subuh. Bahkan sebelum syahdunya salawat tarhim diperdengarkan di masjid. Di lingkungan rumahku, salawat tarhim terbiasa diperdengarkan untuk membangunkan warga agar mempersiapkan diri untuk sahur, salat Shubuh, maupun membangunkan mereka yang ingin salat tahajud.Â
Saking seringnya mendengarkan salawat tarhim, aku sampai hapal liriknya. Dan ketika beranjak dewasa, aku baru tahu artinya dari lirik tersebut yang aku rasakan benar-benar menyentuh.
...Ya Rasulullah shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari Dialah Yang Maha Melindungi Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur...Â
Emha Ainun Nadjib membawakan salawat tarhim di sela pengajian Bang Bang Wetan. Lengkingan suaranya tebal rada serak. Sungguh nikmat didengar. Aku sempat memutarnya berkali-kali, seperti ketika pria yang dijuluki Kiai Mbeling itu melantunkan ayat-ayat suci Alquran yang merdu.
Aku sempat penasaran hingga mencari siapa yang menciptakan dan dari mana salawat tarhim ini diperdengarkan, setidaknya yang pertama kali memperkenalkannya. Aku akhirnya tahu dari sejumah referensi, kalau yang menciptakan salawat tarhim seorang qori, namanya Syeikh Mahmud Al-Husshari. Dia pelantun ayat suci Alquran yang terkenal pada masanya.
Syeikh Mahmud Al-Husshari diberitakan pernah berkunjung ke Indonesia, tahun 1960-an. Dia lantas diminta merekam salawat tarhim di Radio Lokananta, lokasinya Solo. Hasil rekaman tersebut kemudian disiarkan radio itu.
Belakangan aku tahu, Radio Yasmara juga kebagian memutar salawat tarhim. Radio yang berlokasi di Jalan Kembang Kuning, Surabaya itu tergolong legendaris. Beberapa kali aku mengunjunginya, terutama saat memburu informasi tentang penetapan Hari Raya Idul Fitri bareng banyak orang. Nama Yasmara itu singkatan dari Yayasan Masjid Rahmat, masjid tertua setelah Masjid Sunan Ampel dan Masjid Jami Peneleh.