Asal tahu saja, sejak kecil saya doyan kelayapan. Menjajal banyak hal baru. Bergaul dengan orang-orang yang usianya di atas saya. Yang gak banyak dilakukan anak-anak seusia saya saat itu.
Rumah saya di Darmokali, hanya beberapa meter dari Sungai Kalimas. Pecahan Sungai Brantas yang berhulu di Kota Mojokerto. Salah satu sungai tertua sekaligus terbesar yang membelah Kota Surabaya.
Kelas tiga SD, saya sudah "diplonco" kakak sepermainan. Model plonconya gak tanggung-tanggung: menyerat saya ke tengah sungai, lalu dibiarkan berenang sendirian. Â Â
Ceritanya kala itu, saya lagi asyik berenang di pinggir sungai. Kedalamannya sekitar 0,5 meter. Bareng anak-anak lain yang belum bisa berenang.
Tiba-tiba, dari belakang pinggang saya ditarik Gianto, kakak sepermainan. Ditarik ke tengah sungai. Yang jauh lebih dalam. Saya berteriak-teriak, menolak. Sambil menangis saya berontak. Gianto yang berada di samping saya hanya tertawa saja. Â
Tubuh saya gak seimbang. Berkecenderungan tenggelam. Ketika melihat itu, Gianto mendorong tubuh saya ke permukaan. Â Saya tak bisa menghitung berapa kali minum air sungai.
Saking kalutnya, tangan dan kaki saya bergerak. Seperti orang berenang. Gianto menyemangati dengan berteriak, "Terus..,terus... Mesti isok koen (pasti bisa kamu)."
Hingga akhirnya saya bisa berada di pinggir sungai. Ploncoan itu dilakukan berkali-kali. Saya akhirnya bisa berenang. Bisa dibilang belajar berenang secara otodidak.
Di kampung saya, ada semacam konsensus tak tertulis. Jika semua anak kampung "wajib" bisa berenang.
"Wong omahe Darmokali, cidek kali, kok gak isok ngelangi (Orang rumahnya Darmokali, dekat sungai, kok tidak bisa berenang," begitu gojlokan orang-orang di kampung saya.