Kegembiraan menjadi pelaku usaha itu bila bikin produk kemudian laku dijual. Terlebih bila nilai jualnya tinggi. Bisa melebihi kompetitor yang menjual produk yang sama.
Bukan cuma keuntungan, tapi juga kebanggaan. Karena sebagus apa pun produk yang dibuat, tapi tak bisa diterima pasar, tentu ada yang salah. Sebaliknya, meski dicibir orang, tapi kalau ada konsumen yang beli produk kita, ya oke-oke saja.
Simpelnya, bikin produk itu harus marketable (mampu dipasarkan). Lha, kalau harga produk jatuhnya mahal, tapi tetap diburu pembeli alias laku, itu lebih benar.
Faktor produk ini sering menjadi dilema pelaku usaha mikro. Terlebih yang baru merintis usaha. Di mana, mereka sering risau dengan urusan membuat produk unggulan. Mau produk kuliner, handicraft, aksesoris, fashion, dan sebagainya.
Saya sih lebih percaya terhadap 3 hal sebelum bikin produk. Pertama, melihat peluang. Itu dapat dicermati dari kebutuhan dan kesukaan di lingkungan terdekat. Ibaratnya, menjemput pasar yang paling mudah dijangkau, ialah yang paling memungkinkan.
Pengalaman teman saya ini mungkin bisa jadi inspirasi. Pelaku usaha yang sehari-hari jualan pudding. Yang terbanyak melayani pesanan. Dia kemudian ingin bikin produk yang bisa dijual harian, yang jenisnya tak jauh dari pudding.
Suatu ketika, dia terilhami booming warung kopi (warkop). Pagi, sore, malam, hampir semua warkop yang ia jumpai tak pernah sepi pembeli. Dia lantas kepikiran bikin produk kopi yang disajikan lebih segar. Harganya bisa terjangkau kalangan menengah.
Singkat cerita, dia lantas membuat minuman dilabeli Koppi Jelly. Penyajiannya segar dalam botol kemasan dan dijual dalam showcase. Bahan yang dipakai lebih lembut. Sekarang, omzet terbesar dia bukan dari pudding, melainkan dari Koppi Jelly. Sehari, dia memproduksi 250 botol dengan harga. Rp 12.000 per botol.
Kedua, menciptakan peluang. Ketika kesempatan untuk bersaing sangat ketat. Ketika membandingkan banyak produk yang sama. Harganya juga tak jauh beda. Pendekatan bisa dilakukan dengan melihat masalah, melengkapi yang sudah ada, memberi nilai lebih produk, dan seterusnya.Â
Soal yang ini saya ingin mengisahkan seorang perempuan single parent. Dia pernah 12 tahun menjadi TKI di Malaysia. Lantaran usia, dia kembali ke Tanah Air. Lalu merintis usaha kacang goreng. Pilihan sederhana, mudah dilakukan, dan gak butuh modal besar. Sehari, dia memproduksi 100 kilogram kacang dalam bungkus plastik. Dijual Rp 1.000 per bungkus. Produknya dititipkan warung kopi dan warung makan.Â
Perempuan ini punya keinginan kacang gorengnya bisa dijual di kalangan menegah atas. Dia kemudian bikin 3 varian, yaitu kacang rasa original, kacang telur, kacang rasa asam manis. Pakai packaging modern. Dengan plastik vakum. Menggunakan karton warna putih. Harganya dibandrol Rp 10.000 per 100 gram. Sekarang produknya bisa tembus dijual di ritel modern dan juga dijual di dalam Pesawat.