Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fakta Jakarta Tidak Siap dan Cara Komunikasi Anies Soal Banjir

5 Januari 2020   21:40 Diperbarui: 5 Januari 2020   21:41 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dutajatim.com

"Tanya Pak Anies yang lebih tahu. Pak Anies sudah lebih tahu dan teman-temannya lebih tahu."

Inilah jawaban singkat Ahok ketika ditanya awak media terkait banjir yang melanda Jakarta awal Januari 2020 lalu.

Jawaban Ahok yang menyatakan bahwa Anies "lebih tahu" memang tepat, karena Anies-lah yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Jakarta dan memiliki wewenang membuat kebijakan dan mengeksekusi langkah-langkah konkret mengantisipasi banjir di Jakarta.

Ahok memang tidak perlu menjawab panjang lebar atas pertanyaan awak media. Ambyar jika Ahok menjawab terlalu banyak pertanyaan wartawan, apalagi sampai merinci apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi banjir di Jakarta. 

Oleh sebab itu, menarik untuk mencari fakta terkait banjir yang terjadi baik dari Anies sendiri maupun dari orang lain. Termasuk juga menguji beberapa pernyataan Anies terkait banjir yang terjadi awal Januari 2020 lalu.

Penyebab Banjir Menurut Ahli 

Banjir di Jakarta bukan hal baru karena hampir setiap tahun terjadi. Hanya saja banjir awal Januari 2020 lalu lebih parah dampaknya  dibandingkan dengan banjir yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Jika merujuk pada peristiwa banjir yang terjadi selama ini di Jakarta, maka Ibu Kota Negara ini hampir selalu mengalami siklus 5 tahunan banjir yang cukup besar. Disamping dipengaruhi siklus hujan yang ekstrem, tentu saja dipengaruhi oleh kondisi yang selalu saja hampir sama setiap tahunnya seperti rendahnya resapan air ke dalam tanah karena perkembangan infrastruktur wilayah, topografi yang cenderung miring, sistem drainase yang kurang mendukung,  adanya 13 sungai di wilayah Jakarta yang mudah tergenang, serta volume sampah yang sangat besar.   

Program kerja penanganan banjir di Jakarta semenjak awal kampanye Anies mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta sudah sering disampaikan. Program kerja tersebut kemudian dituangkan dalam RPJMD Tahun 2017-2022 setelah Anies terpilih sebagai Gubernur Jakarta. 

Khusus yang terkait dengan persolan banjir, Anies menyatakan akan memperluas dan mengefektifkan program-program penanggulangan banjir, termasuk di dalamnya adalah rehabilitasi lingkungan dan pengelolaan sampah. Anies juga memprogramkan pembangunan infrastruktur yang handal, modern, dan terintegrasi serta mampu menyelesaikan masalah-masalah perkotaan. Selanjutnya, strategi yang akan dilakukan adalah membangun dan memelihara infrastruktur pengendali banjir dan abrasi sebagai langkah konkret mengatasi persoalan banjir di Jakarta.

Seperti dalam dokumen RPJMD umumnya, maka dalam dokumen tersebut dijelaskan juga target capaian kinerja dalam mengatasi persoalan banjir serta anggaran yang dialokasikan untuk mencapai target dimaksud. Tertulis bahwa target capaian tahun 2018 sebanyak 12 titik dengan alokasi anggaran Rp4 triliun, tahun 2019 sebanyak 7 titik dengan alokasi anggaran Rp3,4 triliun, tahun 2020 sebanyak 6 titik dengan alokasi anggaran Rp3,8 triliun, tahun 2021 sebanyak 5 titik dengan alokasi anggaran Rp4,1 triliun dan tahun 2022 sebanyak 0 titik dengan alokasi anggaran Rp15 triliun.

Namun, melihat dampak yang ditimbulkan akibat banjir di Jakarta awal Januari 2020 kemarin, tentu masyarakat mempertanyakan keberhasilan program Anies selama ini dalam mengantisipasi banjir di Jakarta.

Menurut catatan BPBD Provinsi DKI Jakarta, Jumlah titik banjir kurang lebih ada 158 titik, total jumlah pengungsi di wilayah Jakarta pada 1 Januari 2020 mencapai 31 ribu jiwa dan tersebar di 269 lokasi pengungsian.

Sementara korban meninggal sampai dengan 4 Januari 2020 dilaporkan sebanyak 9 orang di wilayah Jakarta. Sedangkan kerugian material belum ada laporan yang pasti, namun dapat dibayangkan kerugian pasti cukup besar akibat hilang dan rusaknya harta benda serta lumpuhnya bisnis di Jakarta.

Menurut pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, penyebab banjir yang terjadi kemarin disebabkan karena tidak semua sistem drainase di Jakarta berfungsi. 

Maka dengan curah hujan yang tinggi seperti itu dan tidak berfungsinya drainase menyebabkan terjadinya banjir. Menurut Nirwono, seharusnya curah hujan yang tingggi masih dapat tertampung dengan baik jika drainase di Jakarta berfungsi baik.

Nirwono juga menambahkan beberapa hal yang ikut menjadi penyebab banjir di Jakarta yaitu program penataan di bantaran kali yang lambat akibat perbedaan konsep antara normalisasi dan naruralisasi, pembebasan lahan di bantaran sungai yang terhenti, revitalisasi situ, danau, embung dan waduk yang juga berjalan lambat, serta penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak signifikan sehingga jumlah daerah resapan air tidak bertambah.

Sementara itu, menurut Ahli Hidrologi dan Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Pramono Hadi, penyebab utama dari banjir awal Januari 2020 lalu adalah hujan yang merata, jumlahnya banyak dan dalam waktu yang cukup lama, sedangkan kondisi surface storage sudah jenuh dengan air. Keadaan ini juga dipicu dengan kondisi infrastruktur wilayah, topografi dan drainase di Jakarta.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR, Bambang Hidayah juga ikut menjelaskan penyebab banjir di Jakarta awal Januari 2020 lalu.

Bambang Hidayah menyampaikan bahwa pada malam pergantian tahun, curah hujan yang melanda Jakarta adalah curah hujan ekstrem, dimana tidak hanya intensitasnya yang sangat tinggi, tetapi waktu terjadinya hujan yang cukup lama. 

Sementara wilayah Bogor, hujan yang terjadi saat itu masih kecil sampai sedang. Saat pagi, air sudah merendam beberapa wilayah di DKI Jakarta. Sehingga  banjir yang terjadi di Jakarta saat pagi hari bukan banjir kiriman tetapi betul-betul banjir lokal. 

Sedangkan banjir kiriman dari wilayah sekitar Jakarta baru terjadi pada Rabu sore hingga malam hari. Hal ini ditandai dengan derasnya debit air sungai, termasuk status siaga 1 pintu air Manggarai sejak pukul 23.00 WIB.

Bambang juga menjelaskan bahwa kapasitas sungai-sungai di DKI tidak mampu lagi menampung air jika terjadi curah hujan ekstrem di wilayah Jakarta.

Dari beberapa pernyataan dan fakta yang disampaikan di atas, bisakah disimpulkan bahwa sebenarnya Jakarta dalam kondisi tidak siap menghadapi banjir kemarin?

Penyebab Banjir Versi Anies dan Cara Penyampaiannya  

Anies memiliki versi tersendiri tentang penyebab banjir yang terjadi kemarin  dan cara mengantisipasinya. Versinya berbeda sama sekali dengan pernyataan para ahli. 

Bila dibandingkan juga dengan pernyataannya beberapa pejabat terkait lainnya, pernyataan Anies cenderung disampaikan untuk ngeles bahkan membantah.

Saat meninjau salah satu lokasi banjir di Jakarta, Anies mengkritik kebijakan normalisasi Sungai Ciliwung pada era Ahok. Anies mengatakan bahwa normalisasi Sungai Ciliwung yang dilaksanakan tidak bisa menghalau banjir di kawasan Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara dan Jakarta Timur. Anies berpendapat, meski ada normalisasi sungai faktanya banjir masih bisa terjadi.

Sayangnya Anies juga tidak membandingkan soal normalisasi sungai ala Ahok dengan langkah-langkah Anies sendiri selama ini dalam mengantisipasi banjir. 

Anies lupa menyuguhkan kepada publik, langkah-langkah apa saja yang sudah dikerjakannya selama 2 tahun ini dalam mengantisipasi banjir di Jakarta. 

Sebenarnya publik menunggu penjelasan Anies bagaimana kemajuan proyek naturalisasi yang dikerjakan dan apa saja sumbangan proyek tersebut dalam mengantisipasi banjir di Jakarta. 

Sebenarnya apa saja capaian target kinerja RPJMD sampai dengan tahun 2019 dalam mengatasi persoalan banjir di Jakarta. Apakah target kinerjanya tercapai atau belum, apakah kendalanya jika target kinerja tidak tercapai.

Namun, Anies memilih menyoroti proyek normalisasi sungai yang dikerjakan pada era Ahok. Maka jangan salah jika sebagian publik menangkap jika Anies sebagai Gubernur Jakarta saat ini sedang memainkan skema playing victim atas banjir di awal Januari 2020 kemarin.

Soal penyebab dan cara mengantisipasi banjir, Anies utarakan dengan cara membantah dan terkesan melindungi diri. Saat Anies bersama dengan Menteri PUPR meninjau lokasi banjir, Anies secara langsung menyatakan ketidaksetujuannya dengan Basuki Hadi Moeljono soal penyebab dan cara mengantisipasi banjir. 

Menteri PUPR, yang saat itu menyatakan bahwa wilayah yang belum dinormalisasi tergenang air dan meminta Anies untuk mendiskusikan program normalisasi sungai, spontan saja Anies mengajukan argumennya bahwa banjir yang terjadi penyebabnya yaitu tidak adanya pengendalian air yang masuk dari selatan ke Jakarta. 

Anies langsung merujuk pada pentingnya pembangunan Waduk Ciawi-Sukamahi di Jawa Barat yang menjadi domain Pemerintah Pusat. 

Benarkah banjir di Jakarta hanya karena air limpahan dari wilayah hulu atau selatan?

Seperti yang telah dijelaskan oleh M. Pramono Hadi, Ahli Hidrologi dan Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR, Bambang Hidayah, tentang penyebab banjir di Jakarta kemarin, maka sangat berbeda dengan apa yang menjadi dasar argumen Anies.

Ketika Anies mengatakan bahwa normalisasi sungai era Ahok tidak efektif mengatasi banjir dan Anies merujuk pada Waduk Ciawi-Sukamahi yang bisa mengendalikan volume air masuk ke Jakarta, maka pernyataan Anies tidak nyambung alias of side dengan kondisi dan penyebab banjir Jakarta pada awal Januari 2020 kemarin.

Argumen Anies soal normalisasi sungai juga didukung oleh anggota TGUPP Anies, Muslim Muin. Bahkan anggota TGUPP ini mengatakan bahwa apa yang diusulkan Menteri PUPR Basuki Hadi Moeljono soal normalisasi sungai adalah ngawur. Muslim berpendapat bahwa menangkal banjir tidak cukup hanya dengan memperlebar sungai seperti yang diucapkan sang Menteri. Tetapi sungai juga harus diperdalam. Muslim bahkan menegaskan bahwa normalisasi sungai hanya akan menghancurkan Jakarta. 

Jika merujuk pada pernyataan Basuki Hadi Moeljono, maka normalisasi sungai yang dimaksud adalah konsep normalisasi sungai seperti yang sudah dijalankan oleh Gubernur Jakarta sebelumnya, yaitu program memperlebar kembali sungai/waduk sesuai dengan lebar/luas aslinya serta memperdalam dengan mengeruk sedimentasi, dan membuat turap beton. Bukan hanya memperlebar sungai seperti yang dimaksudkan oleh Muslim Muin anggota TGUPP Anies Baswedan. Maka pernyataan Muin bahwa Menteri PUPR ngawur, patut dipertanyakan dimana letak ngawur-nya?

Saat mengunjungi Kampung Pulo, Gubernur Jakarta kembali menyampaikan pernyataan yang cukup menarik. Anies mengatakan bahwa sosok yang senang dengan banjir Jakarta kali ini adalah anak-anak. Menurut Anies, anak-anak justru senang karena dapat bermain di genangan air.

Jarang sekali seorang pemimpin mengeluarkan model pernyataan seperti itu saat menghadapi musibah. Pernyataan Anies terasa seperti sebuah motivasi, "bahwa di balik musibah ini, masih ada kebahagiaan dalam bentuk lain". Khas gaya seorang motivator.

Terakhir, ada pernyataan Anies Baswedan yang menampakkan ketidaktegasan dalam mengatasi banjir Jakarta kemarin, terkait soal target waktu dan usahanya yang bersifat segera untuk menyurutkan banjir di beberapa kawasan Jakarta. Anies mengatakan bahwa untuk menyurutkan banjir akan menunggu air laut surut. Sebagian dari air akan menunggu permukaan air laut surut. Karena air laut juga naik, maka arus banjir masih sulit untuk dibuang ke laut.

Pernyataan Anies ini dilontarkan pada saat meninjau lokasi banjir di Duri Kosambi. Dalam upaya segera menyurutkan air, Anies rupanya tidak memiliki target waktu. 

Ini tentu berbeda dengan harapan masyarakat Jakarta yang wilayahnya sedang tergenang air. Berharap bahwa pompa-pompa air dipastikan bekerja mengurangi volume air sehingga kerugian lebih besar bisa dihindari.

Langkah Konkret dan Berani 

Banjir di Jakarta akan selalu membawa kerugian bagi semuanya. Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pembangunan, sosial, akan terganggu pertumbuhannya, bahkan ketahanan keamanan suatu wilayah akan ikut terancam akibat musibah banjir.

Banjir di Jakarta akan selalu menjadi sebuah indikator keberhasilan seorang gubernur, dari jaman dahulu sampai selanjutnya. Wajar saja masyarakat membuat perbandingan dan penilaian dalam setiap era kepemimpinan di Jakarta. 

Bagi masyarakat, yang membedakan setiap pemimpin terkait persoalan banjir adalah apa program yang dilaksanakan, apakah konkret progress-nya menjawab masalah banjir di wilayah tersebut.

Menyelesaikan persoalan banjir di Jakarta yang sangat akut, tentu tidak cukup dengan program dan pendanaan yang direncanakan, tapi juga keberanian dan ketegasan kepala daerah kepada masyarakatnya. Kepala daerah harus berani menjelaskan dan berhadap-hadapan dengan masyarakat.

Bahkan harus berani disebut sebagai pemimpin yang tidak populis. Bukan sebaliknya, senang mengambil kebijakan populis, namun tidak tepat mengatasi persoalan.    

Jikalau ada masyarakat membandingkan kinerja Anies dan gubernur sebelumnya, mungkin saja ini sebuah upaya politik yang di-framing. Namun yang pasti semua lapisan masyarakat di Jakarta tidak ingin hidup menjadi susah karena banjir. Mengganjal diri dengan pertimbangan identitas hanya akan menjadi penghambat mengatasi persoalan banjir di Jakarta.

Perbandingan kinerja antara Anies dan Gubernur Jakarta sebelumnya wajar-wajar saja dilakukan oleh masyarakat. Hanya masalah kebetulan saja, kalau Ahok adalah Gubernur Jakarta sebelum Anies Baswedan.

Sumber:

https://www.kompas.com

https://www.tempo.co

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun