Mohon tunggu...
Agus Trisa
Agus Trisa Mohon Tunggu... -

Seorang ayah dengan dua orang anak dan seorang istri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahaya di Balik Ide "Islam Nusantara"

11 Juli 2015   08:09 Diperbarui: 11 Juli 2015   08:09 35767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketiga: Islam Nusantara dianggap sebagai bentuk alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang lebih “moderat” dan “toleran”. Hal ini sebagai reaksi terhadap kondisi Timur Tengah yang saat ini diwarnai konflik berkepanjangan. Karena itu menurut mereka, Timur Tengah tidak layak dijadikan acuan keberislaman kaum Muslim. Justru Indonesialah, menurut mereka, yang semestinya menjadi kiblat peradaban Islam karena Islam di Indonesia dianggap lebih moderat dan bisa diterima oleh banyak pihak. Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada Senin (09/02) lalu juga menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi peradaban dunia.

Argumentasi seperti itu tidak tepat. Pasalnya, kondisi Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus memanas karena strategi penjajah Barat. Timur Tengah selama ini telah menjadi arena pertarungan kepentingan antara Inggris, Amerika, Rusia dan Prancis. Sebagai contoh, konflik yang sedang terjadi di Yaman sekarang ini. Konflik tersebut sebenarnya bukanlah konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan Amerika dengan Inggris untuk merebut kue kekuasaan di Yaman. Karena itu mengaitkan konflik Timur Tengah dengan sikap keberislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan naif dan diskriminatif. Tindakan ini telah menutup mata terhadap apa yang telah dilakukan negara-negara penjajah di wilayah tersebut.

Keempat: Islam Nusantara dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk membendung bahaya Islam Trans-Nasional. Argumentasi ini tidak ada realitanya dan a-historis. Mereka seakan lupa bahwa Islam sendiri berasal dari Timur Tengah, bukan ‘produk’ asli Indonesia. Kalau mereka konsisten mestinya shalat, shaum, zakat dan haji mereka sebut juga sebagai produk Trans-Nasional. Sejarah juga mencatat, bahwa Islam masuk ke negeri ini dibawa oleh ‘orang luar’ yaitu Wali Songo. Jadi Islam itu memang sejak dulu bersifat Trans-Nasional, mulai didakwahkan secara lintas negeri dari pusat Daulah Islamiyah di Madinah hingga akhirnya menembus wilayah Romawi, Persia, Afrika Utara, Eropa, Asia dan seterusnya hingga di Nusantara ini.

Faktanya, tidak ada yang salah dengan Islam Trans-Nasional sehingga harus dibendung dengan Islam Nusantara. Memang demikianlah semestinya karakteristik dakwah Islam yang harus diemban oleh kaum Muslim ke seluruh dunia, melintasi sekat-sekat wilayah geografis. Justru ide Islam Nusantara yang bersifat kewilayahan terbatas itulah yang berbahaya karena pada akhirnya akan mengerdilkan Islam itu sendiri.

Bahaya Terselubung

Paling tidak ada tiga bahaya yang perlu dicermati. Pertama: ide Islam Nusantara pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis Madjid. Ide Islam Nusantara itu tidak lebih dari sekularisasi yang diberi warna baru. Di dalam bukunya, “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” (Mizan, 1987), Nurcholis Madjid menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesiaan. Ini persis sama dengan argumentasi pengusung ide Islam Nusantara yang mempropagandakan keterbukaan dan toleransi terhadap agama dan budaya di Nusantara.

Ini merupakan bukti bahwa upaya sekularisasi terhadap Islam tidak pernah berhenti, terus berlanjut hingga kini. Ide Islam Nusantara adalah salah satu bentuk upaya tersebut. Buku-buku yang mempropagandakan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme juga terus diterbitkan. Di antaranya adalah buku “Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” yang diterbitkan oleh LSAF dan Paramadina, 2010. Pada buku tersebut dituliskan bahwa ketiga paham tersebut, yakni sekularisme, pluralisme dan liberalisme wajib dikembangkan di Indonesia sebagai prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di Indonesia. Padahal sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis) telah difatwakan haram oleh MUI.

Lebih dari itu, sekularisasi di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS. Ini karena mereka berkepentingan untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme di negeri-negeri Muslim sekaligus menyingkirkan ideologi Islam sebagai rival utamanya. Tentu kita masih ingat, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya melanggar syariah itu. CLD KHI didanai oleh The Asia Foundation (TAF) sebesar Rp 6 miliar.

Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004, mengaku dapat kucuran dana sebesar 1.4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia. TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasioanal yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia.

Kedua: ide Islam Nusantara berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim. Antar negeri Muslim akan dipecah-belah melalui isu kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya. Ini merupakan politik belah-bambu atau stick and carrot yang memang merupakan strategi penjajah untuk melemahkan kaum Muslim. Sebagaimana diketahui, mereka juga telah membuat kutub kaum Muslim melalui pelabelan modernis-tradisionalis, radikal-moderat, spiritual-politik, kultural-struktural, formalis/literalis-substansialis, termasuk Islam esoteris (Islam hakikat) dengan Islam eksoteris (Islam syariah).

Selanjutnya mereka memberikan dukungan baik opini maupun dana bagi kelompok-kelompok liberal, modernis, moderat, esoteris dan sebagainya, sekaligus menekan kelompok-kelompok yang mereka beri predikat fundamentalis, radikal, eksoteris dan sebagainya. Mereka juga memberikan ruang politik, publik dan ketokohan kepada mereka yang pro Barat-AS sekaligus menyempitkan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro syariah dan Khilafah. Mereka pun  melakukan stigmatisasi terhadap ide syariah dan khilafah. Misalnya mengidentikkan gerakan syariah dan Khilafah sebagai sumber anarkisme dan berpotensi menyulut konflik horisontal di masyarakat yang tidak cocok dengan kultur di Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun