Memahami Radikalisme Dalam Wajah Baru
Radikalisme, secara umum, adalah paham yang menginginkan perubahan drastis dan mendasar dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan hukum. Di Indonesia, bentuk radikalisme yang paling sering menjadi sorotan adalah radikalisme agama, namun sejatinya bentuknya bisa bermacam-macam: ideologis, politik, ekonomi, dan budaya.
Dalam konteks abad ke-21, radikalisme tidak lagi hanya hadir lewat ceramah tertutup atau aksi-aksi kekerasan. Ia telah berevolusi menjadi narasi halus dalam konten-konten digital dalam meme, video singkat, atau diskusi-diskusi daring yang mengadu-domba, merendahkan kelompok lain, atau menyebar kebencian terhadap keberagaman.
image by freepik: stand up for justice and dignity
Sasaran utamanya? Generasi muda. Mereka yang masih mencari jati diri dan kerap terpapar informasi mentah dari internet tanpa filter nilai yang kuat. Jika nilai-nilai kebangsaan dan toleransi tidak ditanamkan sejak dini, maka radikalisme akan menjadi ideologi tandingan yang mudah menjangkau dan meracuni pikiran mereka.
Pancasila: Diakui, Tapi Belum Dihidupi
Pancasila sejatinya adalah dasar negara, ideologi bangsa, dan identitas kolektif Indonesia. Kelima silanya mencerminkan nilai-nilai luhur yang bisa menjadi pegangan hidup dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia. Namun sayangnya, dalam realitas sehari-hari, Pancasila sering kali hanya menjadi slogan tanpa makna.
Kita sering menyaksikan kontradiksi: orang yang berbicara tentang Pancasila, namun menyebarkan ujaran kebencian. Sekolah mengajarkan toleransi, tapi lingkungan justru menunjukkan diskriminasi. Di sinilah letak krisisnya: Pancasila tidak gagal, tetapi kita yang belum sungguh-sungguh merawat dan menerapkannya.
Radikalisme: Tak Lagi Sekadar Isu Pinggiran
Radikalisme kini tak lagi menyusup secara diam-diam. Ia hadir lewat konten digital, obrolan di media sosial, bahkan dalam ruang-ruang diskusi publik. Paham-paham yang bertentangan dengan nilai toleransi, persatuan, dan kemanusiaan menyebar dengan cepat. Generasi muda, yang masih mencari jati diri dan rentan terhadap pengaruh luar, menjadi target empuk.
Celakanya, radikalisme bukan selalu datang dalam bentuk kekerasan. Ia bisa menyusup melalui cara pikir eksklusif menganggap hanya satu kebenaran mutlak, dan menolak keragaman. Padahal, keberagaman adalah jantung dari Pancasila itu sendiri.