Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Pernah Bisa Menghadiri Semua Undangan Acara Sastra-Budaya di Luar Balikpapan

4 September 2016   23:51 Diperbarui: 5 September 2016   00:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 1 September 2016 saya menerima undangan menghadiri acara peluncuran buku kumpulan puisi bertema “Klungkung dalam Puisi” dari panitia melalui surel (surat elektronik). Sebagian isinya tertulis, “Namun, karena keterbatasan dana dan hal teknis lainnya, kami hanya menyediakan akomodasi (tempat menginap) dan konsumsi sederhana selama kegiatan berlangsung. Untuk itu, kami melampirkan surat mencari bantuan dana agar digunakan sebagaimana mestinya.”

Dalam salah satu surat undangan tersebut terdapat surat berperihal “Permohonan Bantuan Dana” yang bisa dipakai untuk permohonan dana ke instansi atau dinas terkait. Nama, judul puisi, dan alamat dikosongkan supaya bisa saya isi sendiri, lalu diajukan pada instansi atau dinas terkait.

Undangan menghadiri acara sastra atau budaya bukanlah kali pertama ini saya terima. Sebelumnya, pada 8 Juli, saya menerima undangan acara Temu Penyair Nusantara di Meulaboh, Aceh Barat. Pada tahun lalu, tepatnya 5 Juli 2015, saya pun menerima undangan acara Temu Penyair Tifa Nusantara 2 di Kabupaten Tangerang, Banten. Dan lain-lain, termasuk Temu Pusaka Indonesia yang diselenggarakan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Heritage.

Dari semua undangan yang pernah saya terima dari panitia acara di luar Balikpapan, tidak satu pun yang bisa saya hadiri. Persoalan utama adalah dana. Kalau persoalan pekerjaan, dengan mudah saya bisa mengantisipasinya karena saya memahami pekerjaan saya. Saya siap menerima pemotongan bayaran asalkan saya memiliki dana untuk bisa menghadiri sebuah undangan acara seni-budaya.

Ya, terus terang, saya tidak memiliki dana khusus secara pribadi untuk suatu perjalanan budaya-sastra ke luar Balikpapan. Saya seorang pekerja keras dengan bayaran seenak perutnya pemakai jasa saya, dan setiap rupiah merupakan angka yang paling berharga dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari apalagi biaya hidup di Balikpapan tidaklah seperti di Yogyakarta.

Saya pernah mencoba mencari dana ke dinas terkait di Balikpapan dengan sebuah proposal untuk menghadiri acara Borobudur Writers and Cultural Festival 2013, 17-20 Oktober 2013, tetapi proposal saya ditolak. Itulah kali pertama dan terakhir bagi saya untuk mencoba berharap pada dinas terkait di Balikpapan, meskipun saya sudah meramalkan bahwa saya tidak akan pernah mendapatkan perhatian apa pun dari Pemerintah Kota Balikpapan.

Bagi saya, hidup sebagai seorang pencipta karya seni-budaya merupakan pilihan pribadi sejak saya menggores tanah di kampung kelahiran saya. Sementara memenuhi undangan melalui kehadiran saya merupakan suatu persoalan paling krusial dalam keseharian saya, yang aktif-produktif berkarya di bidang budaya, dan tidak bernaung di suatu badan atau lembaga kesenian-kebudayaan di Balikpapan karena, saya menyaksikan, bahwa segala kegiatan hanyalah sebatas formalitas.

Memang, sejak Maret 2009 dengan status kependudukan baru di Balikpapan, saya pernah ditawari langsung oleh seorang ketua sebuah lembaga kesenian di Balikpapan tetapi saya pun langsung menolak tawaran beliau. Alasan saya, saya mau berkecimpung bersama komunitas seni-budaya kecil-kecilan saja. Sejak Maret 2009 sampai Oktober 2014 saya memberikan sebagian keseharian bahkan keuangan saya untuk membimbing sebagian orang muda Balikpapan dalam berkarya, baik seni rupa, seni sastra, maupun jurnalistik.

Akan tetapi, meskipun selalu mencantumkan nama daerah domisili (Balikpapan), pilihan saya menjadi seorang pencipta suatu karya seni-budaya tidaklah perlu dibarengi dengan sifat manja melalui menadah belas kasihan pada pemerintah daerah setempat. Sebab,mengharapkan belas kasihan pada pemerintah daerah merupakan sebuah kesia-siaan belaka karena saya sudah memahami bahwa pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat sangat kurang memerhatikan kehidupan seorang pencipta karya semacam saya.

Saya selalu mengutamakan produktivitas karya sebab “apalah arti sebuah nama tanpa karya” bagi seorang pencipta. Saya pun tidak perlu susah-payah berpura-pura dengan alasan “mengharumkan nama daerah” karena, sesungguhnya, nama yang terkenal harum hanyalah R.A. Kartini (harum namanya).

Oleh karena itu ketika puisi atau karya saya bisa berada di suatu daerah nun di luar Balikpapan, dan undangan kehadiran pun saya terima, tidaklah lantas saya akan menghadiri acara bersangkutan, termasuk undangan dari panitia yang berada di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali. Karya saya sudah mewakili kehadiran saya, sedangkan kehadiran fisik saya bukanlah suatu kewajiban karena bisa berimbas pada kepentingan paling hakiki, yaitu dana (keuangan).

*******

Panggung Renung, 4 September 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun