Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Penting Mendayagunakan Lentera di Balikpapan

29 Januari 2016   00:45 Diperbarui: 29 Januari 2016   03:46 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lentera atau, istilah kawan, “lampu badai”, akhirnya berfungsi lagi di Panggung Renung setelah lebih lima tahun menjadi penghuni (tetap) gudang. Gara-garanya listrik padam mulai pkl. 00.15 WITA (29 Januari 2016).  

Listrik padam? Tidak perlu heran. Tidak perlu heran? Bukankah julukan Kota Minyak itu adalah “Kota Internasional”? Bagaimana mungkin, Kota Internasional kok sama saja seperti kota kecil (kabupaten pelosok) yang berlangganan listrik padam, ya?

Di Kota Internasional (Balikpapan “Beriman”) sudah biasa dengan listrik padam. Tadi siang sampai lepas petang, listrik di Kebun Karya juga padam lebih dari 6 jam sehingga saya hanya bengong di depan laptop yang kehabisan enerji.

Saya sudah lelah mengkritisi kinerja PLN di Balikpapan. Lebih dari dua tulisan saya pajang di Facebook dan Kompasiana, sampai-sampai kawan sekaligus mantan rekan di media kampus yang kini dia menjadi seorang ‘pejabat’ PLN di sebuah cabang luar Balikpapan terpaksa saya hapus dari pertemanan FB.

Lho, mengapa sampai fatalistis begitu? Percuma. Ya, jelas percuma memiliki kawan tetapi tidak memiliki idealisme dan profesionalitas yang mumpuni semacam itu. Mendingan saya berteman dengan penjual bubur ayam, walaupun tidak sarjana seperti kawan saya tetapi jelas tidak terkait dengan padamnya listrik di Balikpapan.

Balikpapan Kota Internasional. Bandaranya pun berstatus “internasional”. Sayangnya, “internasional”-nya sekadar sebutan di atas kertas dan obrolan orang-orang. Cocok dengan peribahasa “jauh perahu dari perairan” atau “jauh bikini dari pantai dan kolam renang”.

Barangkali terlalu berat menyandang gelar “internasional”. Barangkali seperti sebuah kepercayaan di Jawa, yang harus menggantikan nama seorang anak karena menyandang suatu nama yang berat bisa berdampak sakit-sakitan. Ya, listrik di Balikpapan memang sering sakit-sakitan.

Tentu tidak elok kejangkitan sakit-penyakit. Mendingan listrik sakit itu saya antisipasi dengan lampu minyak (lentera), yang sudah saya persiapkan. Tangki-nya masih penuh minyak tanah karena masih bisa saya beli (peroleh).

Syukurlah Panggung Renung atau juga ruang renung saya masih berbentuk tradisional, selain menggunakan bahan tradisional.  Dengan lentera menyala dalam suasana listrik padam, kesan tradisionalnya pun nyata. Cara berpikir saya pun masih sangat tradisional.

Panggung Renung. Kota Minyak. Listrik padam. Lentera (lampu minyak) menyala. Pikiran tradisional. Pas-serasi! Tidak perlu percaya pada gelar hiperbola “Kota Internasional”, kalau ternyata masih mirip daerah pelosok benua Afrika, yang akrab dengan hutan dan binatang-binatangnya.

Saya tidak mengetahui, sampai pukul berapa* listrik akan menyala lagi, dan kegelapan langsung sirna. Tetapi kegelapan tidak perlu dipikirkan apalagi dimanjakan dengan prasangka yang gelap karena bisa menyebabkan pemikiran tertular (pikiran gelap). Biarlah PLN Balikpapan saja yang suka bergelap-gelapan ketika malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun