Bagaimana tidak, lha wong satu bak kontrol saja belum juga dibereskan, kok malah mengajukan harga sangat tinggi untuk pekerjaan lainnya?
Setelah bertemu Odang, saya menghubungi Sarwan. Dalam obrolan dengan Sarwan, saya mengatakan bahwa sebaiknya pekerjaan terakhir berharga fantastis itu tidak usah diberikan pada Odang, dan cukuplah kesempatan diberikan pada pekerjaan sebelumnya, bahkan satu bak kontrol tidak juga dibereskan.
Ada Tukang Lain yang Mendadak Hadir
Suatu pagi sebelum Odang datang untuk membicarakan keluhan soal keberadaan seorang tukang lainnya, saya sudah diberi tahu oleh Sarwan bahwa ada tukang lain yang akan mengerjakan pekerjaan keramik lantai. Tukang lain itu ditunjuk secara langsung oleh Demun.
Saya sempat kaget. Betapa tidak, lha wong Demun sama sekali tidak mempertimbangkan perihal pengelolaan tenaga kerja, tetapi langsung menunjuk tanpa adanya pembicaraan apa pun dengan Sarwan.
Ah, sudahlah. Saya bergegas ke sekolah itu, dan bertemu dengan Sarwan serta tukang lain tadi.
"Mas ini arsitek, Bapak perhatikan instruksinya."
"Baik, Pak."
Karena tukang lain tadi merupakan pilihan Demun, saya tidak perlu repot memikirkan hasil kerja dan seberapa nilai upahnya. Saya berikan instruksi mengenai hal-hal yang harus dikerjakan tukang lain tadi, lalu saya berangkat ke lokasi pekerjaan saya sendiri.
Maka, seperti awal tulisan ini, pada suatu malam saya kedatangan seorang tukang...
Jadi, sebenarnya, pertanyaan saya "kok bisa" dan "kok malah ngomong dengan saya" merupakan upaya saya mengorek keterangan dari Odang sekaligus bagaimana pendapat Odang sendiri mengenai komunikasi dan koordinasinya dengan Sarwan, posisi saya di antara keduanya, hingga kehadiran tukang lain tanpa sepengetahuannya.
Odang terlihat kebingungan sendiri; antara kekecewaan dan pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Kalau kecewa pada saya, tentu saja, dia harus kembali pada pembicaraan awal sebelum dia menyepakati dan mengambil pekerjaan itu.