"Jadi, kami pakai arsitek lain?"
"Ya!" Secara spontan saya menjawab pertanyaan Sarwan.
Seketika air muka Sarwan berubah. Mungkin Sarwan kecewa sekali atas jawaban saya itu. Wajar, sih, karena baru kali ini saya secara tegas menolak permintaannya di hadapan kawan-kawan, bahkan di hadapan Demun.
Saya tidak bisa berusaha keras menyenangkan hati seorang kawan semacam Sarwan pada saat saya "terpaksa" mengalami "kesengsaraan", apalagi keberadaan saya di Kupang karena panggilan darinya. Saya tidak mampu menolong/membantu seorang kawan pada saat saya sendiri masih dalam kondisi sedang suntuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Maka, meskipun tidak formal-tertulis, penggantian tenaga arsitek dari penolakan saya dan menyiapan arsitek pengganti saya itu sudah tepat. Saya tidak akan bertanya, "Mengapa posisi saya diisi oleh orang lain tanpa sepengetahuan saya?"
Arsitek Lain
Namanya Lia --- samaran saja. Belum sampai lima tahun arsitek lulusan sebuah PTN di Jawa ini berada di ibu kota provinsi leluhurnya.
Lia "menyanggupi" permintaan Sarwan untuk menangani pekerjaan yang saya tolak itu. Gagasannya cukup asyik, yaitu ruang kelas berasal dari kontainer bekas.
Selama beberapa hari Lia mencari informasi seputar keberadaan kontainer bekas dan harganya. Itu pun Lia dibantu kawan kami lainnya hingga ke tempat penyimpanan kontainer bekas di pinggiran wilayah sebuah pelabuhan bongkar-muat barang dan penumpang.
Singkatnya, gagasan cukup asyik itu batal alias tidak terealisasi. Saya tidak diberi tahu oleh Sarwan mengenai "mengapa" dan "bagaimana" sampai batal. Saya pun tidak perlu mengetahuinya.
Kepala Tukang Bernama Odang
"Kalau ada apa-apa untuk pekerjaan ini, langsung saja berhubungan dengan Abang ini."
"Baik, Pak."