Adapun kalkulasi biaya per bulannya sebesar Rp280.000,00. Itu pun kalkulasi teoretis-matematis.
Fakta yang saya temukan adalah sebagian rumah tangga di perumahan bersubsidi itu membutuhkan air sebanyak 5.000 liter per lima hari. Dengan kata lain, selama satu bulan sebagian rumah tangga membutuhkan air bersih sebanyak 30.000 liter.
Maka, dalam satu bulan saja, sebagian warga perumahan bersubsidi itu harus mengeluarkan uang sebesar Rp420.000,00. Selisihnya sebesar Rp140.000,00 dengan kalkulasi teoretis-matematis.
Sebuah Ironi yang Disusul Ironi Lainnya
Pada awal tulisan saya sudah menyinggung "perumahan bersubsidi" dan "rumah tinggal sederhana". Artinya, perumahan itu sewajarnya dihuni oleh masyarakat berekonomi menengah ke bawah.
Menurut saya, itu merupakan ironi pertama. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama satu bulan, para penghuninya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp280.000,00 sampai Rp420.000,00.
Ironi kedua, dan faktual, saya sempat melihat secara langsung adanya air yang tersia-siakan, yaitu pada 18 Juli, 5 dan 8 Agustus. Paling parah terjadi pada 5 dan 8 Agustus.
"Paling parah" yang saya maksudkan adalah durasi air mengucur secara deras selama lebih 8 jam. Menurut informasi dari obrolan beberapa warga, sejak sebelum pkl. 06.00 s.d. pkl. 16.00 air bersih mengucur. Â Â
Saya tidak sanggup menghitung jumlah air bersih yang tersia-siakan selama lebih 8 jam itu.
Lagi-lagi Soal Pemantauan, Perbaikan, dan Perawatan
Selama lebih dua bulan sering berkunjung ke kawasan perumahan bersubsidi itu, saya sama sekali tidak menemukan petugas terkait, baik dari pihak pengembang (developer) maupun dinas berwenang, dalam hal pemantauan, perbaikan, dan perawatan pipa-pipa galvanis untuk air bersih.
Pipa-pipa masih berada dalam kondisi mengenaskan. Bengkok, putus, dan potongannya. Semua kondisi mengenaskan itu terlihat secara jelas, meskipun petugas atau pihak berwenang sama sekali tidak pernah terlihat.