Apalagi indekosan itu berdekatan dengan sebuah musala. Indekosan kedua (masa kuliah) di Babarsari, induk semang kami non-Muslim, dan sebagian kawan kos non-Muslim. Di sekitar indekosan warung-warung tetap buka dengan "agak berbeda".
Ketiga, di kampung halaman ibu saya, yakni Dusun Clepor, Desa Ngadirejo, Kec. Mojogedang, Kab. Karanganyar, Kar. Surakarta, Jateng. Tidak ada musala, surau, langgar, atau masjid di dusun pelosok itu.Â
Meski mayoritas Muslim, termasuk keluarga besar keluarga ibu saya, situasi bisa seperti biasa. Saya bisa menikmati sarapan di rumah. Hanya saja, biasanya, sebagian perantau sudah mudik dengan membawa kosakata Betawi, meskipun baru tiga-enam bulan merantau.
Keempat, di Jakarta, tepatnya Jelambar, Jakbar, dan berdekatan dengan sebuah masjid di sebelah rumah duka "Abadi", tetapi ada saja warung makan yang buka di sekitar indekosan saya, meski dengan kode "khusus" dan tidak terlihat adanya orang yang petentang-petenteng mengunyah makanan atau sekadar merokok di area terbuka pada masa puasa (pagi-sore). Dan seterusnya, misalnya Bandung dan Bogor, sampai Balikpapan, yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Ketika dii Balikpapan, tepatnya Kel. Mekarsari, suasana Ramadan sangat kental, terlebih suara dari toa beberapa masjid di sekitar tempat tinggal saya. Menjelang sahur sampai fajar menyingsing, dan menjelang buka sampai tarawih, terasa kental suasananya, apalagi dalam lingkungan padat penduduk.
Saya menikmati semua suasana bulan Ramadan di manapun saya berada, karena sejak kecil terbiasa begitu. Kalaupun suasananya berbeda secara drastis dengan di Kupang, ya, seperti pepatah "lain ladang, lain belalang". Yang penting, semua umat berbahagia dengan kenyataan hidup di bumi. Â Â
*******
 Kupang, 22 Mei 2019