Hal di atas inilah yang tadi tertulis "kedua jagoan tidak sebanding" alias jomplang. Kalau dalam masing-masing tim pendukung terdapat kalangan intelektualitas yang mumpuni, pastilah bisa kritis-analitis terhadap kapasitas jagoan mereka ketika keduanya melakoni duel, eh, debat bertaraf internasional.
Lantas, apakah kejomplangan yang nyata-fakta itu merupakan sebuah tontonan yang sangat membanggakan masing-masing pendukung? Kalau "tidak membanggakan" alias memalukan plus memilukan, apakah masih akan menyodorkan jagoan yang ternyata "antagonis/pecundang" alias "kalah berduel" karena "tidak siap" pada pilpres-pilpres selanjutnya?
Selain kedua jagoan dan kedua pendukung (kubu), bagaimana dengan panitia pengelola kegiatan penyelenggaraan Pemilu setelah mempertontonkan kekonyolan demi kekonyolan di hadapan ratusan juta pasang mata, bahkan di mata dunia internasional? Apakah benar-benar bangga atau malah diam-diam malu?
Dan, selain dari pihak jagoan, pendukung, dan penyelenggara Pemilu, tentu saja ada satu pihak yang tidak boleh dilewatkan, yaitu rakyat yang terbebas dari beban dukung-mendukung. Rakyat yang tidak repot dengan frontalitas dukung-mendukung tetapi benar-benar rasionalis-nasionalis, tidak mustahil, justru merasa malu ketika menyadari bahwa para jagoan itu berduel, eh, berdebat secara jomplang, dan disaksikan oleh dunia internasional. Waduh, Django di Indonesia tenyata Jackson, Ferguso!
*******
Balikpapan, 18 Februari 2019