Kabar yang beredar pasca-Debat II (17/2) adalah Capres 01 Jokowi menggunakan alat bantu komunikasi berupa wireless earphone, termasuk dalam bentuk pulpen. Kabar tersebut, tulis Kompas (18/2), beredar di media sosial Facebook.
Ceritanya, seorang Facebooker mengunggah (upload) sebuah foto beserta statusnya, "Sisa depat capres, meninggalkan tanda tanya. Badan Pemenangan Nasional (BPN) harusnya memeriksa telinga Jokowi, ada earphone atau tidak. Jika ada, patut dipertanyakan untuk apa itu earphone, cek juga pulpen yang dipegang Jokowi. Ada apa di kuping? Ada wireless earphone? Apa yang sedang didengarkan? Mendengarkan arahan? Atau mendengarkan rekaman jawaban?"
Jokowi pun sudah membantah kabar itu kepada para wartawan yang hadir, terutama alat bantu berupa pulpen. "Ini pulpennya. Ya, cek saja. Jadi enggak usah buat isu-isu yang fitnah begitulah," ujar Jokowi.
Benarkah, meski Jokowi sudah membantah kabar yang kemudian disebut Jokowi sebagai "fitnah" itu?
Patut dicurigai, si oknum Facebooker memang mengetahui adanya benda semacam itu tetapi yang "diserang" olehnya adalah telinga Jokowi. Apakah si oknum biasa juga menggunakan alat semacam itu? Apakah si oknum malah termasuk penjual alat itu? Apakah si oknum-lah yang mengenakannya pada telinga Jokowi?
Kecurigaan ini bisa merupakan "serangan balik" terhadap si oknum. Terlepas dari "fitnah", paling tidak, si oknum-lah yang pertama mengulik telinga, eh, mata para pembaca. Si oknum ini justru pihak pertama yang "wajib" dijewer, eh, diperiksa.
Beres, 'kan? Belum.
Berikutnya, yang tidak luput menjadi objek dugaan yang patut diperiksa pula adalah Capres 02 Prabowo. Lho, kok malah dari si oknum beralih ke Prabowo, sih?
Begini. Dalam acara debat ke-2 itu Prabowo terlihat kebingungan (plonga-plongo), cengar-cengir, dan beberapa kali tidak mampu menanggapi Jokowi sampai membiarkan kesempatan berlalu begitu saja.
Lho, tetapi, kok, malah Prabowo yang berikutnya didugai dan diperiksa?
Barangkali saja justru Prabowo yang menggunakan wireless earphone di telinganya tetapi, sialnya, alat bantu pendengaran itu mendadak tidak berfungsi (ngadat). Tentu saja, kalau mendadak "gagal fungsi", seketika suasana terasa berubah, apalagi di hadapan sekian puluh juta pasang mata.