Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Antara Debat Perdana dan Diskusi Kesekian

18 Januari 2019   00:11 Diperbarui: 18 Januari 2019   01:57 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terus terang, saya tidak mengikuti acara Debat I Capres-Cawapres secara utuh. Bukannya tidak ingin tetapi ada yang memang lebih penting untuk saya lakukan, yaitu mendiskusikan manuskrip (draft) novel seorang kawan -- minta nama disamarkan menjadi Parmin.

Lebih pentingnya begini. Saya dan Parmin memang sudah cukup rutin mendiskusikan calon novelnya. Kami sempat berhenti karena saya terserang flu berat dengan istirahat total selama dua hari, dan Parmin terserang sakit pada maag-nya. Setelah mulai bisa berpikir normal, saya bisa berfokus pada lembar-lembar manuskripnya.

Manuskrip yang kami diskusikan merupakan manuskrip kedua yang jumlahnya lebih dari 200 halaman. Diskusi kami baru sampai 110-an halaman.

Sementara manuskrip pertama sudah kami diskusikan, jumlahnya tidak sampai 200 halaman. Sekitar 180-an. Beres, dan ternyata Parmin menambahi lagi.

Dari kedua manuskrip tersebut, selalu banyak coretan atau "pertanyaan" saya. Ya, saya masih melihat kekurangan Parmin dalam pengolahan dan pengelolaan tokoh, dialog, latar tempat, dan seterusnya. Persoalan paling utama, Parmin merupakan sarjana Teknik Mesin, dan belum pernah menulis cerpen dengan kualitas memadai (secukupnya) untuk "dikurasi" redaktur yang mumpuni.

Menurut saya yang sok tahu ini, menulis cerpen merupakan cikal-bakal untuk menulis novel. Cerpen dengan segala keterbatasannya, minimal dibaca dalam 5 menit alias sekali duduk, tentu tidaklah begitu pendek waktunya dibandingkan dengan novel. Cerpen berfokus pada satu konflik, sementara novel bisa lebih dari tiga konflik berbeda.

Artinya, pengolahan dan pengelolaan isi novel lebih leluasa daripada cerpen. Itu menurut sok tahunya saya lho. Maklumlah saya oknum arsitek yang bisa "terpeleset" dari garis-garis ke aksara-aksara. Garis-garis pun harus logis dengan aneka argumentasi struktural dan arsitektural. Atau, seumpama sebuah mesin, hilang satu sekrup saja bisa berdampak serius terhadap proses mekanikalnya. Begitu kira-kira kesoktahuan saya.

Akan tetapi, tidak sedikit "sekrup" yang terlepas, "sekrup" yang tidak pas, dan seterusnya. Ternyata banyak "sekrup" yang perlu diperiksa ulang. Misalnya untuk penokohan utamanya. Kekuatan penokohan utama bukan hanya melalui narasi panjang-lebar-tinggi saja, melainkan juga dialog, hobi, kegiatan/sikap, latar tempat, dan lain-lain. Belum lagi mengolah-kelola tokoh-tokoh lainnya.

Saya menyarankan Parmin agar mengolah dan mengelola pancainderanya secara leluasa karena sebuah novel memungkinkan untuk itu jika dibandingkan dengan cerpen. Suatu ruang akan menjadi hidup apabila pancaindera diolah-kelola dengan sebaik-baiknya. Mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Bahkan, ketika tokohnya sakit sekalipun, kelima indera tersebut harus diolah-kelola.

Selain pancaindera, juga benda-benda di sekitarnya. Apa yang dikenakan, semisal kaus oblong. Apa yang dipakai, semisal sepeda mini. Apa yang tergeletak, semisal sempak. Dan seterusnya yang berpotensi menguatkan karakter tokoh-tokohnya.

Kemudian mengenai logika bahasa. Parmin menyebut sebuah naskah kuno yang ditulis pada lembar daun lontar. Akan tetapi, sudah menggunakan bahasa Indonesia yang aduhai dengan kosakata, misalnya "instan", "bisnis", dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun